Aku terus berjalan mondar-mandir di kamar. Mengintip sesekali lewat celah gorden jendela, tetapi apa yang kuharapkan belum kunjung terlihat. Degup jantungku berirama berisik, tidak seperti biasanya. Lelehan keringat sebesar biji jagung terus berjatuhan di pelipis.
Sepasang mataku melirik jarum jam yang detaknya kalah oleh suara jantungku sendiri. Setengah jam lagi sudah waktunya Mas Raja pulang bekerja. Apa dia akan datang mencariku? Atau jangan-jangan dia sudah di rumah dan mencoba menghubungiku?
Nadira, bukankah kamu ingin berpisah dengannya? Bukankah ini bagus?
Lantas, mengapa aku menjadi tidak konsisten begini? Aku berbalik dan berjalan lesu ke arah tempat tidur. Duduk dengan kaki yang menjuntai sambil mengetuk-ngetuk lantai marmer. Apa mungkin Mas Raja mencariku ke mana-mana? Entahlah.
Sekarang ponselku tidak di sini, ketinggalan di rumah. Bagaimana aku harus menghubunginya?
"Buat apa?" gumamku, "buat apa aku menghubunginya? Baguslah kalau mama menjauhkanmu darinya. Ini yang kamu mau, Nadira?"
Hanya suara detak jarum jam yang membalas ucapanku. Aku berbaring telentang sambil mengelus perut yang susah agak membesar. Nanti kalau Mas Raja tidak di sampingku, siapa yang akan menemani ke dokter? Siapa yang akan antusias melihat hasil USG anak ini selain aku? Siapa yang akan mendengarkan kata-kata dokter tentang kehamilanku?
Aku mengangkat lengan kanan dan meletakkan di atas mata. Kenapa segalanya menjadi seperti ini?
"Andai hari itu kita nggak ketemu, Mas," gumamku.
Ingatanku terlempar pada kejadian di mana kami kembali dipertemukan. Mas Raja selaku alumni sebuah komunitas literasi di kampus, kebetulan datang saat acara pertemuan. Aku yang baru saja bergabung menjadi anggota pun mau tidak mau harus pergi.
Hari di mana kami mengadakan makrab, di sanalah aku dan Mas Raja ....
Rongga dadaku kembali bergemuruh. Aku menggeleng sebentar hanya untuk mengusir momen memuakkan itu. Malam di mana aku menyerahkan segalanya.
Kalau bukan karena malam itu, aku dan Mas Raja mungkin tidak akan bersama lagi. Walaupun bersama kembali, tetapi aku tidak menyangka akan dalam kondisi seperti ini. Rasa tidak suka kedua orang tuaku makin bertambah sejak aku bertindak seperti orang gila hanya karena Mas Raja.
Sekarang ini mereka mungkin masih dendam. Mereka tidak akan pernah bisa menerima Mas Raja begitu saja. Aku yakin. Kedua orang tuaku pendendam sejati.
"Nadira, ayo makan dulu!" Suara Mama mengalihkan pikiranku dari Mas Raja.
Pintu diketuk sebentar, lalu menjeblak ketika Mama mendorongnya. Wajah Mama tidak pernah berubah sejak aku membuatnya kecewa. Selalu terlihat dingin dan penuh kekecewaan, serta menyimpan kemarahan.
"Nanti saja, Ma," tukasku.
"Makan sekarang, Nadira. Tadi siang kamu tidak makan. Kamu mau membunuh bayimu itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Pasutri
Dragoste[Slow update] Ketika dua garis positif menggemparkan keluargaku, maka tidak ada jalan lain selain meminta pertanggung jawaban. Namun, kenapa mama malah ingin menggugurkan? Tidak, ini buah hatiku. Tidak, ini janinku. Meski ia hadir sebelum aku dan ca...