"Ayo, masuk!" ajak Mama Ayudia begitu aku dan Mas Raja tiba di rumah Papa Malik."Terima kasih, Mama," tukasku.
Mama Ayudia tersenyum dengan matanya yang juga berkaca-kaca. Ia mengelus lenganku dengan penuh kasih sayang. Lantas menggiringku menuju lantai dua. Hanya ada Mama Ayudia di rumah siang itu. Papa Malik jelas masih di kantor, Kiara belum pulang sekolah, dan Sadam sibuk dengan urusannya. Hingga mama mertuaku sendiri yang menyambut kami.
Aku agak gugup dan merasa berat hati meninggalkan rumah kecil yang sempat kami tempati. Namun, aku mengusir rasa-rasa aneh itu. Aku tak boleh ragu dan resah, ini adalah keputusan ke sekian yang aku ambil dalam hidupku.
"Saat Mas Raja mengabari Mama kalau kalian akan pulang, Mama senang sekali. Waktu itu Mama nggak mau kalian pergi dari rumah, tapi Mama juga nggak bisa mencegah keputusan kalian. Tapi, Mama percaya kalau kalian suatu saat akan pulang. Karena memang di sinilah rumah kalian," ucap Mama Ayudia ketika kami tiba di kamar Mas Raja.
"Maaf, Mama. Kami hanya ingin menenangkan diri waktu itu." Giliran Mas Raja yang angkat suara. Pria itu tengah berdiri di depan lemari untuk menaruh tas-tas kecil yang dibawanya dan berisi barang kami.
"Nggak usah meminta maaf." Mama Ayudia menatapku. Sepasang matanya masih terlihat berkaca-kaca. Tangannya yang sedikit kasar—barangkali karena sering bergelut di dapur dan mengerjakan pekerjaan rumah—langsung menggenggam kedua punggung tanganku. "Mama senang ... nggak, tapi Mama sangat bahagia melihat kalian pulang."
"Terima kasih, Mama." Aku seakan kehabisan kata-kata karena sikap Mama Ayudia.
Kasih sayang dan perhatian Mama Ayudia serupa milik Tante Ambar. Sedangkan mamaku sendiri? Entah kapan terakhir aku melihat sorot matanya yang begitu penuh cinta. Mungkin sejak aku membuatnya kecewa, beliau tidak pernah mau lagi repot-repot menatapku dengan kasih sayangnya sebagai seorang ibu.
Namun, perlukah mama bersikap begitu berlebihan? Toh, bukan hanya dia yang harus berusaha untuk menerima keadaan ini, tetapi aku, keluarga Mas Raja, dan tentu saja Mas Raja. Hal yang sudah terjadi, bukankah tidak bisa dicegah?
"Nadira, kalau ada apa-apa tentang kandungan atau perasaanmu, jangan ragu katakan pada Mama, ya. Walaupun di zaman kamu dan zaman Mama berbeda, tapi Mama ini tipe yang cepat belajar, Mama bisa belajar perkembangan zaman," kata Mama Ayudia seraya menyunggingkan senyum lebar.
"T-terima kasih ...."
Mama Ayudia malah tergelak sebentar. "Kamu gugup, ya? Biasakan dirimu. Dulu juga sering diajak ke sini sama Mas Raja, 'kan?"
Aku mengangguk canggung, lalu melirik suamiku yang berdiri bersandar pada lemari. Seulas senyum terlukis tulus dari bibirnya. Membuatku tambah mencintainya saja.
Dulu kupikir Mas Raja akan pergi begitu mengetahui aku hamil. Namun, ternyata dia menjaga dan menerimaku hingga detik ini. Kejadian di masa lalu, ketika dia meninggalkan aku, membuatku takut terulang lagi di masa sekarang. Apalagi dengan kondisiku yang tengah mengandung anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Pasutri
Romance[Slow update] Ketika dua garis positif menggemparkan keluargaku, maka tidak ada jalan lain selain meminta pertanggung jawaban. Namun, kenapa mama malah ingin menggugurkan? Tidak, ini buah hatiku. Tidak, ini janinku. Meski ia hadir sebelum aku dan ca...