Chp 13: Papa Malik

187 31 2
                                    

Walaupun aku masih membayangkan bagaimana reaksi Papa Malik saat terakhir kali bertemu, tetapi aku tetap harus datang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Walaupun aku masih membayangkan bagaimana reaksi Papa Malik saat terakhir kali bertemu, tetapi aku tetap harus datang. Mereka sekarang adalah mertuaku dan orang tua Mas Raja, lelaki yang masih sangat aku cintai. Meski demikian, aku diburu gugup ketika mobil yang kami tumpangi kian mendekat ke rumah Papa Malik.

"Nggak apa-apa. Ada, Mas," kata Mas Raja sambil meraih tangan kananku yang sejak tadi meremas permukaan rok yang aku kenakan.

Rupanya lelaki itu mengerti kalau aku tidak tenang. Ketakutan selalu memburuku, tetapi lebih dari itu ... cobalah untuk tenang, Nadira. Aku berusaha membisikkan kata-kata itu pada diriku sendiri.

"Mama dan papa meminta kita datang pasti karena mereka merindukan kamu. Apalagi kamu sedang hamil. Mereka pasti khawatir," imbuh Mas Raja.

"Oh ya, begitu?"

Mas Raja menjawab dengan anggukan singkat. Entah itu kebenarannya atau Mas Raja cuma bermaksud menyenangkan aku? Aku sendiri tidak peduli. Sekarang aku hanya perlu mencari cara bagaimana menyapa mereka dengan ramah, tanpa merasa kaku dan memperlihatkan kecemasanku.

Pasti sulit bagi Papa Malik untuk menerima keadaan kami, aku yakin. Itulah mengapa Papa Malik bersikap dingin saat itu. Lalu, sekarang setelah hari kian berlalu, mungkinkah sikapnya akan tetap sama?"

"Mbak Nadira!" seru Kiara begitu aku turun dari mobil.

Aku mengulas senyum lebar. Dia adalah iparku yang paling kecil. Melihat senyum ramah dan raut wajah riang Kiara, degup jantungku kembali lebih berisik. Aku kembali dilanda gugup.

"Ya, ampun. Kangen banget tau, Mbak. Ayo, masuk!" ajaknya sambil menggandeng lenganku.

Aku menoleh sebentar ke arah Mas Raja. Lelaki itu mengangguk sebagai pertanda, bahwa aku boleh pergi bersama Kiara. Sementara dia pasti akan menurunkan beberapa belanjaan yang sempat kami beli saat mampir di supermarket tadi.

Setibanya aku di ruang tamu, terlihat Mama Ayudia keluar dari dapur. Wanita itu menyambut dengan tidak kalah riang. Bahkan matanya sedikit berkaca-kaca. Seketika perasaanku sedikit nyeri. Mama Ayudia menyambutku seperti dulu saat dikenalkan sebagai pacar Mas Raja.

"Apa kabarmu? Sehat, 'kan? Kandunganmu bagaimana?" tanya Mama Ayudia tidak henti mengusap-usap lenganku.

"Baik, Ma. Alhamdulillah." Aku menyalami punggung tangannya. Kupikir ini cara terbaik untuk menyapa. "Mama apa kabar? Maaf, baru bisa datang sekarang."

"Raja sudah cerita ke Mama kabarmu, Nadira. Syukurlah, kamu baik-baik saja. Mama pun begitu. Sekarang sudah mulai sibuk lagi di kampus, ya?" tanya Mama Ayudia, kali ini sambil menggiringku ke sofa. "Ki, ambilkan minum untuk Mbak dan Masmu."

Kiara yang diberi perintah pun segera ke dapur. Sementara sekarang aku mengamati seluruh penjuru ruangan. Hanya dua orang yang tidak kelihatan di rumah ini; Sadam dan Papa Malik. Kalau Sadam memang jarang pulang, lebih sering tinggal di unitnya. Namun, Papa Malik?

Bittersweet PasutriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang