Chp 10: Keputusanku?

200 26 0
                                    

Nasi goreng buatan Mas Raja masih tergeletak di tempat semula seperti tadi pagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nasi goreng buatan Mas Raja masih tergeletak di tempat semula seperti tadi pagi. Aku belum menyentuhnya, tidak sedikit pun. Sekarang pasti sudah dingin. Sedingin tubuhku yang malam ini mendadak menggigil. Entah mengapa, begitu aku keluar dari kamar mandi, dingin membungkus tubuhku selama beberapa saat.

Aku meniup susu cokelat buatan Mas Raja sembari merapatkan tubuh yang diselimuti jaket tebal. Mas Raja masih di kamar mandi untuk membersihkan diri. Sejak pulang ke sini, belum ada suara sedikit pun di antara kami.

"Mas Agas pasti sangat marah," gumamku. Pas sekali, baru dipikirkan, pesan masuk dari Mas Agas terlihat di bar notifikasi ponsel.

Sayangnya, aku tidak sempat mengambil ponsel dan membalas pesan itu tatkala Mas Raja keluar dari kamar mandi dan menaiki tangga melingkar menuju area tempat tidur. Senyum tipis terlukis di bibirnya. Aroma sabun Mas Raja seketika menyebar di seluruh penjuru rumah kecil ini.

"Setelah ini Mas buatkan makan malam," katanya sambil menjatuhkan tubuh di dekatku.

Aku yang langsung meletakkan mug setelah menyesap sebagian isinya. "Nggak usah. Aku mau langsung tidur."

"Makan dulu, Nadira."

"Nanti saja, Mas."

Ia tidak memprotes lagi. Mungkin lelah juga kalau harus mendebatku. Tidur sebentar di mobil benar-benar tidak nyaman, tidak membuat nyenyak.

"Oh ya, Mas bilang mamaku memberi saran. Memang apa katanya?" Tentu saja aku masih ingat hal ini. Aku tidak akan puas sampai dia memberitahuku semuanya.

"Mama hanya meminta Mas tinggal di rumahnya bersama kamu. Daripada kita tinggal di sini, lebih baik di sana."

"Itu saja? Lalu Mas jawab apa?"

Mas Raja menghela napas sebentar. Sepasang matanya yang sempat menatapku cukup lama, kini beralih pada permukaan lantai kayu yang diketuk-ketuk jarinya. Sementara aku fokus mengamati profil Mas Raja. Entah apa yang sedang dia pikirkan saat ini.

"Awalnya Mas bilang, kalau kamu mau, Mas akan menuruti kemauan kamu untuk tinggal di sana. Tapi, sepertinya Mas nggak setuju. Mana bisa Mas sebagai lelaki ikut perempuan," jelasnya.

"Kenapa memangnya? Kalau Mas nggak mau ikut aku. Kita berpi—"

"Nadira?" Mas Raja memutus kalimatku dengan cepat. Seiring tatapannya yang lamat-lamat memperhatikanku. "Bisa jangan bahas hal-hal seperti itu? Jawaban Mas tetap sama. Memangnya kamu mau tinggal di sana bersama Mas?"

Tentu tidak mau! Papa dan mama tidak hanya akan menekanku, tetapi pasti mereka akan membuat Mas Raja muak tinggal di sana. Aku ini ... aku memang tidak jelas! Mengapa aku harus terus membahas perpisahan jika beberapa jam lalu saja masih berharap Mas Raja datang menyelamatkanku?

"Mama Ayudia meminta kita pulang besok. Kita tinggal di sana saja. Sikap Papa Malik yang seperti itu hanya sesaat saja, Nad. Dia hanya masih sedikit kesal. Papa Mas nggak mungkin membiarkan kita hidup di luar," katanya.

Bittersweet PasutriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang