Chp 2: Bagiku Hanya Formalitas

359 34 1
                                    

Entah ini sudah jam berapa, yang jelas aku hanya berharap hari tidak akan pernah berganti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Entah ini sudah jam berapa, yang jelas aku hanya berharap hari tidak akan pernah berganti. Pagi tidak akan datang atau barangkali hidupku akan berakhir saja, itu akan lebih baik. Kenyataan pahit tetap harus aku telan mentah-mentah bersama rasa sesak yang terus bersemayam.

Perlahan-lahan aku membuka mata. Lengkung elips terbentuk memperlihatkan plafon yang tidak asing. Ya, aku masih di sini, di kamar hotel. Tuhan ... tidak bisakah aku tidur saja dan tidak perlu bangun lagi? Membawa serta kehidupan yang ada dalam rahimku sekarang.

"Bukankah kamu menginginkannya, Nadira?" gumamku denhan suara yang masih terdengar parau. "Hari itu bukankah kamu yang bersikeras ingin menerimanya? Bukankah kamu yang menolak untuk membunuhnya? Bukankah kamu yang nekat meminta izin untuk mengiakan pertanggung jawaban Mas Raja?"

Hening membalas semua rentetan pertanyaanku. Sinar mentari menembus kaca lebar hotel meski gorden tebal masih berusaha menghalangi. Separuh wajahku menjadi sasaran biasnya bermuara. Aku mengejap sesaat, merasakan tenggorokan kering, mata lelah dan sakit, serta perut yang bergejolak. Aku meremas sprei, merasa ngeri sekaligus jijik. Teringat hari-hari di mana mual dan mulas menjajah, menyakiti, dan mengaduk-aduk perutku.

Berminggu-minggu kejadian itu terus berlangsung dan aku melewatinya sendirian. Tak sanggup makan, tak suka mencium apa pun yang menurut indraku sangat tidak bisa diterima, dan parahnya pada saat itu mama membisikkan kata-kata yang amat kejam.

"Gugurkan saja," kata Mama dengan sangat tegas.

Aku teringat kembali pada kejadian itu. Beberapa minggu ke belakang sebelum aku dan Mas Raja menikah.

Kejadian itu berlangsung belum lama setelah keluarga Mas Raja datang dan menawarkan solusi terbaik—menurut mereka. Namun, bisa kulihat guratan kepedihan di wajah Tante Ayudia dan kemarahan yang belum habis di wajah Om Malik. Mereka tidak mungkin setuju secepat itu.

"Apa yang Mama bicarakan? Ma, aku sedang sakit," komentarku ketika sudah seharian aku tidak bisa turun dari ranjang. Hanya mampu tertidur melawan rasa sakit sendirian.

"Kamu yang cari penyakit. Apa, sih, yang kamu pikirkan? Sudah dari dulu Mama memintamu berhenti berhubungan dengan Raja. Kenapa tidak didengarkan? Diam-diam ternyata kamu mengkhianati Mama dan papa. Mentang-mentang sudah merasa dewasa, kamu jadi seenaknya, ya?

"Berpacaran itu tidak berguna, Nadira! Kamu akan dibuat makin malas dan jauh dari cita-citamu. Lihatlah sekarang! Semuanya akan tertunda gara-gara kamu hamil. Lalu ... Ya Tuhan! Kamu akan menikah? Menikah? Gila, kamu." Mama menunjuk-nunjuk wajahku. Mungkin dia tidak akan peduli dengan wajahku yang pucat pasi.

"Aku nggak bisa, Mama. Dia janinku, buah hatiku, calon bayiku. Mana bisa aku setega itu membunuhnya?"

"Nadira, Nadira, kamu pikir menikah itu gampang? Kamu pikir merawat anak itu gampang, ha? Pernikahan itu tidak hanya butuh cinta. Paham kamu?!"

Bittersweet PasutriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang