Chp 4: Kita Suami-Istri

312 30 4
                                    

Semua teman-temanku tahu kalau pada akhirnya aku menikah muda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semua teman-temanku tahu kalau pada akhirnya aku menikah muda. Hanya saja aku tidak membeberkan alasan sebenarnya mengapa memilih menempuh jalan pernikahan. Mereka hanya tahu bahwa aku telah membuat keputusan.

"Kamu stres banget, ya, Nad? Sampai-sampai milih menikah muda. Nikah bukan jalan yang tepat tau. Supaya bisa lulus, ya, tugas akhir ini harus segera diselesaikan," komentar salah satu teman bimbinganku.

Tak cuma itu saja, yang lain ikut menyeletuk, "Ya udahlah. Itu pilihan Nadira. Nggak mau terlalu lama pacaran kali, makanya menikah muda."

Teman yang lain juga berkomentar, "Tapi kata mamaku, siap menikah artinya siap terlibat dalam masalah hidup yang sesungguhnya. Agak ngeri, ya. Kamu emangnya nggak kepengin nikmati masa lajang dulu? Cari uang yang banyak, terus beli apa pun yang kamu mau?"

Atau kadang-kadang ada komentar lain. "Ke mana Nadira yang selalu berambisi pengin lulus terus lanjut studi strata dua? Kami syok, lho, tiba-tiba dapat kabar kalau kamu menikah."

Masih banyak sederet komentar yang aku dapatkan sebelum menikah. Mereka mungkin menaruh curiga, tetapi aku tidak peduli. Sekarang yang jelas aku bukan lagi gadis yang bisa mereka ajak nongkrong sesuka hati. Ada sedikit rasa tidak rela. Semua waktu luang yang aku punya dengan teman-teman kuliah dan klub literasi yang aku ikuti, pun terganggu. Mereka juga sepertinya hafal rencana masa depan seorang Nadira Ayunda, wajar jika mereka kaget saat tahu aku akan menikah.

Nadira Ayunda itu yang papanya jadi ketua laboratorium. Nadira Ayunda yang ibunya seorang dosen sains. Nadira Ayunda itu yang kelak akan ikut jejak ibu dan ayahnya bergelut di bidang pendidikan. Iya, itulah Nadira Ayunda. Justru apa yang terjadi sekarang? Nadira Ayunda malah makin merasa jauh dari rencana-rencana masa depan itu.

Di sinilah aku terjebak sekarang, rumah-tidak, ini bahkan bukan rumah kami-yang disewa oleh Mas Raja. Kami benar-benar keluar dari rumah Papa Malik. Aku baru tahu ternyata hari itu Mas Raja dan Sadam pergi untuk mengecek rumah yang akan kami tempati. Kedua orang tua Mas Raja, terlebih Papa Malik, tidak berkomentar apa pun saat kami pergi. Malah terkesan ingin cepat-cepat kami angkat kaki.

Sebesar itu kesalahan kami sampai-sampai diusir dari rumah? Belum lagi mama dan papaku yang tidak pernah ada kabar sejak aku pindah ke rumah keluarga Mas Raja.

"Sarapan dulu," kata Mas Raja mengalihkan atensiku saat keluar dari kamar.

Pagi ini aku harus ke kampus, mencari suasana baru, walaupun tidak janjian dengan dosen pembimbing. Aku berbohong pada Mas Raja jika hari ini harus bimbingan.

"Nanti aja."

"Mas udah bikin sarapan buat kamu."

Bisa saja aku menolak, tetapi ternyata Mas Raja memang sudah menyiapkan semuanya di atas meja makan. Rumah yang kami tempati tidak besar. Bahkan kamarnya saja hanya dipagari pembatas pendek. Anak tangga kecil melingkar ke lantai di bawah. Dapur agak sempit dengan kamar mandi di belakang. Hanya ada satu sofa di sisi ranjang, tempat Mas Raja menyibukkan diri dengan pekerjaan.

Bittersweet PasutriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang