"Kamu ini gimana, sih? Masa nggak lulus juga? Papa dan Mama udah siapkan daftar universitas terbaik yang harus bisa menerima kamu, Nadira. Tapi, astaga ... kamu ikut ujian masuknya nggak lolos?" Papa menatapku dengan matanya yang berkilat-kilat memancarkan kemarahan.
Mama yang duduk di sampingnya langsung mengompori. "Pasti karena berpacaran. Anak ini kalau sedang libur bukannya dimanfaatkan untuk belajar, malah pacaran. Nadira, kamu ini masih remaja. Masa depanmu masih panjang. Nggak usahlah kamu main-main."
"Mama, Papa, aku udah coba sebisaku. Tapi, memang kemampuanku nggak seperti apa yang kalian harapkan. Kalau aku nggak belajar, nggak mungkin aku pulang sekolah setiap petang karena les," komentarku yang sejak tadi diam diomeli. Jelas-jelas aku tersinggung karena mereka seakan buta pada usahaku selama ini.
Ucapanku menyulut lagi murka Papa. "Sudah berani melawan? Masih remaja juga nggak usah berani pada orang tua. Siapa yang mengajarimu? Si Raja itu?"
"Ini bukan salah Mas Raja."
"Diam kamu!" seru Mama tidak mau kalah dari kemarahan papa.
Aku tahu sekarang kedua orang tuaku meradang. Anaknya gagal menjadi lulusan terbaik di SMA. Lalu, anaknya gagal pula masuk universitas yang mereka targetkan. Kekecewaan itu jelas tidak hanya menghampiri mereka saja, tetapi aku juga. Kurasa kemampuanku hanya cukup sampai di sana.
"Kalau dia cowok yang bisa menghargai dan mencintaimu, dia nggak akan mengganggu dan merusak fokus kamu, Nadira. Ini malah ngajak pacaran!"
"Mama, cukup. Ini salahku, jadi jangan salahkan orang lain ...."
Kalimatku terpangkas ketika Papa menendang kaki meja.Tak peduli kakinya akan kesakitan atau tidak. Kemarahan telah menguasainya, rasa sakit mungkin tidak akan berarti. Mama berkacak pinggang, mengintimidasi putrinya dengan tatapan memojokkan. Aku yang duduk di sofa hanya bisa meremas rok selutut yang hari itu aku kenakan.
"Kamu ini anak Papa dan Mama satu-satunya, Nadira. Berhenti bermain-main. Kalau nggak bisa membahagiakan dan membanggakan orang tua, terus kamu mau apa? Mau membahagiakan anak orang? Hanya karena lelaki, kamu jadi lupa diri. Kamu masih muda, Nak!" pekik Papa sambil menunjuk-nunjuk mukaku.
Aksi diamku menyulut lagi emosi mereka. Papa membanting vas yang ada di meja. Sedangkan Mama berusaha menahannya.
Salahkah aku? Aku hanya gadis muda yang sama seperti gadis remaja seusiaku. Hanya ingin menikmati masa-masa remajaku agar tidak membosankan. Aku juga ingin jatuh cinta. Aku ingin mengenal lelaki. Apa hidupku hanya akan dikekang? Apa aku ini hanya burung yang hidup dalam kerangkeng?
"Apa maumu sekarang?" tanya Papa dengan suara yang sudah agak pelan. "Jawab!"
"A-aku pasti akan kuliah."
"Mau daftar di mana? Sekarang sudah tutup semua pendaftarannya."
"Masih ada universitas lain. Aku bisa kuliah di tempat kalian bekerja," jawabku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Pasutri
Romansa[Slow update] Ketika dua garis positif menggemparkan keluargaku, maka tidak ada jalan lain selain meminta pertanggung jawaban. Namun, kenapa mama malah ingin menggugurkan? Tidak, ini buah hatiku. Tidak, ini janinku. Meski ia hadir sebelum aku dan ca...