Chp 18: Midnight Rain

192 30 0
                                    

Sore tadi cuaca cukup cerah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sore tadi cuaca cukup cerah. Namun, begitu masuk waktu Magrib, mendadak langit diselimuti awan tebal yang gelap. Gemuruh terdengar menggelegar dari cakrawala gulita. Seiring dengan hujan yang jatuh  berjujai tanpa henti. Memasuki akhir tahun, musim hujan mulai berdatangan.

Aku baru saja turun dari lantai dua. Kulihat Mama Ayudia berdiri di depan jendela, lalu berjalan bolak-balik. Dalam genggamannya terlihat sebuah handphone dan dari gerak-geriknya beliau seperti sedang cemas. Karena penasaran, aku mendekati beliau.

"Mama, ada apa?" tanyaku.

"Eh, Nadira. Ini, lho, Kiara belum ada balik sampai jam segini. Mama khawatir sekali. Udah ditelepon, tapi nggak dijawab-jawab."

Benar juga. Sejak tadi aku tidak melihat batang hidung gadis itu. "Kayaknya terjebak hujan, Ma. Memangnya tadi Kiara bilang mau ke mana?"

"Rumah temannya. Ada tugas yang harus diselesaikan bersama."

"Apa minta Mas Raja cari Kiara aja, Ma?"

Mama Ayudia tampak sangsi. Hanya ada Mas Raja dan Papa Malik di rumah yang bisa diminta keluar. Sedangkan Sadam tidak pulang sudah dua hari.

"Lagi hujan begini, Mama takut kalau mereka berkendara," tukas Mama Ayudia.

Untuk beberapa saat aku mengamati ibu mertuaku. Dia memiliki banyak kekhawatiran terhadap orang-orang tersayangnya. Oh, tetapi bukankah wajar? Beliau seorang ibu dan anak gadisnya sedang di luar. Apalagi dengan situasi saat ini, maksudku hujan yang terus turun tanpa henti.

Mama Ayudia kembali mencoba menghubungi Kiara. Raut wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan ketenangan. Sialnya, dalam situasi begini aku tidak bisa membantu apa pun. Hanya bisa melihat dan mengagumi Mama Ayudia sebagai seorang ibu.

Seorang ibu ... refleks aku memegang perutku sendiri. Kelak bisakah aku menjadi ibu yang kuat seperti Mama Ayudia? Lalu menjadi ibu yang pekerja keras seperti mamaku? Dan menjadi ibu yang sangat pengertian seperti Tante Ambar?

Ketakutan menyergapku dalam sekejap. Bagaimana jika mamaku tidak menyukai anak ini? Pikiranku mulai liar ke mana-mana. Suara mereka yang meremehkan aku berdenging dalam telinga.

"Ada apa, Ma?" Suara familiar itu terdengar dari arah belakangku. Mas Raja muncul dari lantai dua.

"Adikmu belum pulang. Udah jam segini dan nggak bisa dihubungi," jawab Mama Ayudia.

"Kenapa Mama nggak bilang dari tadi? Anak itu pasti kejebak hujan. Aku cari saja kalau begitu." Mas Raja bergerak hendak keluar rumah, tetapi Mama Ayudia menahan lengannya. "Kenapa, Mama? Kiara di luar sana dan kita nggak tau dia berteduh di mana."

"Mas, lihat Nadira," perintah Mama Ayudia. Ucapannya membuatku mengernyit karena kupikir memang apa hubungannya denganku? Mas Raja menoleh padaku sesuai titah ibunya. "Dia sedang hamil. Kalau terjadi apa-apa padamu saat di jalan dengan kondisi hujan seperti ini, Mama akan sangat sedih dan bersalah. Kita tunggu saja, Kiara pasti pulang. Kamu tau adikmu, 'kan?"

Bittersweet PasutriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang