"Kenapa kamu ada di Jakarta?" tanyaku pada pria yang beberapa saat lalu memanggilku dengan antusias.
"Coba tebak," ia berkata sambil menaik-turunkan alis.
Aku terkekeh sebentar. Kami memilih duduk di depan gedung perpustakaan, di kursi semen yang melingkar di bawah pepohonan rindang. Beberapa mahasiswa melintas, tetapi tidak seramai tadi pagi.
"Aku serius, lho, Mas."
Pria itu terkekeh sebentar. "Aku pindah ke ibu kota. Dapat jatah mengajar di salah satu kampus swasta. Senang nggak kamu? Kita bisa sering ketemu kita, Nad."
"Selamat, ya, Mas. Sekarang udah jadi dosen," ujarku, "padahal rasanya baru-baru ini kita kecil bareng."
"Yeee, enak aja. Aku ini lebih dewasa dari kamu, Nad."
Aku terkekeh mendengar ucapannya. Biar aku memperkenalkan lelaki ini, namanya Agas. Mas Agas, begitu aku memanggilnya. Anak dari tanteku. Usia kami memang cukup jauh berbeda, tetapi kami berteman dan akrab sejak kecil. Bagiku, Mas Agas sudah seperti kakak sendiri. Tentu saja aku senang saat dia berkata akan tinggal di ibu kota.
Mas Agas menghentikan tawanya sebentar. "Sori, ya. Aku nggak bisa datang ke acara pernikahan kamu. Agak patah hati," ungkapnya.
"Patah hati kenapa, sih, Mas? Harusnya Mas yang duluan tau."
"Iya, 'kan? Kenapa malah kamu yang duluan?" Mas Agas terdiam sesaat menatap profilku. "Aku benar-benar nggak menyangka, Nad. Kamu dulunya masih sekecil ini, eh, sekarang sudah menikah. Apa yang kamu pikirkan sampai-sampai memilih menikah?" kata Mas Agas sambil membuat pengukuran tinggiku dengan tangannya.
"Nggak ada yang tau apa yang bakal terjadi ke depannya, 'kan?"
"Benar, tapi ini terlalu mendadak. Kamu yakin nggak ada apa-apa? Mama udah cerita ke aku, tapi entahlah ... aku merasa kamu terlalu terburu-buru. Padahal kamu sendiri yang bilang setelah ini mau S2 dulu. Kelak mau jadi penerusnya tante," ucap Mas Agas menyebut-nyebut mamaku.
Senyum pahit kuperlihatkan padanya. Mungkin saja impian itu bisa terwujud. Namun, entah kapan. Entah berapa lama lagi. Andai saja Mas Agas tahu kalau sekarang aku sedang hamil. Kehamilan ini bisa mengganggu prosesku untuk meraih impian tersebut.
Menikah saja sudah susah, apalagi hamil dan menjadi ibu?
Mas Agas menghela napas sebentar. "Maaf, aku ngomongnya kelewatan. Ini sudah keputusan kamu, Nad. Aku bisa apa coba? Nomormu masih yang lama, ya? Nanti aku hubungi karena hari ini nggak bisa lama-lama. Masih harus ngecek rumah yang bakal aku tempati."
Aku mengangguk sesaat. "Selamat, ya, Mas. Dari dulu kamu memang keren."
"Percuma kalau nggak bisa dapetin kamu," ucapnya setengah bercanda. Aku hanya terkekeh singkat meladeni ucapan Mas Agas. Ia kemudian bangkit dari tempat. "Padahal aku pengin banget nyapa suami kamu. Kapan-kapan bisa ketemu lagi, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Pasutri
Romance[Slow update] Ketika dua garis positif menggemparkan keluargaku, maka tidak ada jalan lain selain meminta pertanggung jawaban. Namun, kenapa mama malah ingin menggugurkan? Tidak, ini buah hatiku. Tidak, ini janinku. Meski ia hadir sebelum aku dan ca...