Kali ini aku bangun lebih pagi dari Mas Raja. Kebetulan Mas Raja tidak ke kantor hari ini. Setahuku Mas Raja bergulat dengan pekerjaannya yang kebanyakan di depan laptop. Ia tengah magang di salah satu perusahaan sebagai tim social media specialist. Kadang-kadang bekerja dari rumah pun dilakukan olehnya.
Aku bangun pagi karena suasana hatiku cukup membaik. Seperti telah lama terpuruk dalam mimpi buruk rasanya. Lalu, sekarang aku bangkit dengan kekuatan dan diriku yang baru. Ya, memulai ulang semuanya dengan Mas Raja tentu saja.
"Kamu membuat sarapan?" Sebuah suara terdengar dari arah belakang. Aku menoleh dan menemukan Mas Raja turun dari lantai kamar kami. Ia mengucek mata berkali-kali.
Kedua pipiku memanas bukan karena terpergok membuat sarapan, tetapi Mas Raja turun tanpa mengenakan baju. Jadi, tubuh bagian atasnya tidak tertutupi apa pun. Aku menunduk dalam-dalam. Padahal kami sudah jadi suami-istri, tetapi tetap saja aku belum terbiasa melihatnya bertelanjang dada.
"Bikin apa?" tanyanya saat mendekatiku.
"Hm, hanya pancake. Mas cuci muka dulu," kataku tanpa meliriknya. Aku masih terlalu malu melihat suamiku yang tidak memakai baju.
Lengan kanan Mas Raja tiba-tiba menarik pinggangku agar kami lebih dekat. "Hari ini rencanamu mau ke mana?"
"Kampus." Begini saja degup jantungku seperti akan membuat organ itu meledak. Salahkah aku deg-degan pada seseorang yang sudah lama kukenal, lalu sekarang menjadi suamiku?
Mas Raja tersenyum. "Mas antar kalau begitu. Nanti kalau sudah pulang, Mas jemput."
"Iya." Mendadak saja aku kehabisan kata-kata karena perlakuannya.
"Mau ke rumah mama nggak? Hari ini Mama mengajak makan malam di rumah. Papa Malik juga yang minta," ucapnya."
Lagi, aku hanya bisa mengangguk. Oh, aku tidak bisa terus berada di dekatnya kalau dia berpenampilan seperti saat ini. Aku berusaha menyingkir, tetapi Mas Raja tidak memberikan kesempatan. Tangannya tidak mau melepas pinggangku.
Aku menengadah—tentu saja setelah mengumpulkan keberanian—hanya ingin meminta agar dia melepaskan aku, meskipun aku meminta lewat tatapan. Dia tertawa sebentar, lalu mengacak poniku yang tipis.
"Baiklah, Mas cuci muka dan kita sarapan," katanya menyerah.
"Pakai juga bajumu, Mas."
"Kamu belum terbiasa, ya?"
Haruskah dia bertanya? Bukankah tingkahku sudah sangat jelas? Aku tidak menjawab dan berpura-pura sibuk memindahkan panekuk ke piring. Dia hanya tersenyum tipis dan berlalu hendak ke kamar mandi.
Kupikir dia benar-benar sudah masuk ke sana, tetapi rupanya Mas Raja kembali berdiri di belakangku. Bikin kaget saja. Aku berbalik saking kagetnya, Mas Raja tersenyum usil.
"Biasakan dirimu, ya," katanya dibarengi senyum yang lebih tulus. Aku tidak menjawab ucapannya.
Puas menampilkan senyum, telapak tangan kanan Mas Raja mampir ke perutku yang sudah mulai membesar. Dia tidak berkata apa pun selain mengusap lembut perutku dibarengi senyum yanh tidak pudar dari bibirnya. Lekas lelaki itu berbalik dan menghilang di balik pintu kamar mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Pasutri
Romance[Slow update] Ketika dua garis positif menggemparkan keluargaku, maka tidak ada jalan lain selain meminta pertanggung jawaban. Namun, kenapa mama malah ingin menggugurkan? Tidak, ini buah hatiku. Tidak, ini janinku. Meski ia hadir sebelum aku dan ca...