Setelah dari laboratorium, aku berjalan menuju fakultas. Jaraknya tidak terlalu jauh. Gedung fakultas hanya terpisah satu bangunan dengan laboratorium. Untung saja mentari tidak terlalu terik pagi ini. Meski demikian, baru berjalan beberapa langkah saja aku sudah merasa agak lelah.
Untungnya lagi, lift agak sepi sehingga aku bisa menetralisir rasa lelahku dengan berdiam diri di sana sebentar. Begitu tiba di lantai prodi, aku bergegas menuju papan pengumuman yang biasa juga memuat jadwal kelas. Mama mungkin saja ada kelas pagi ini.
"Mama nggak ada kelas. Apa dia ada di ruang dosen?" Aku berusaha menerka.
Sebenarnya aku agak takut bertemu mama. Nyatanya, berhadapan dengan mama lebih menyeramkan daripada berhadapan dengan papa. Kendati demikian, aku tidak boleh mundur. Aku sudah di sini dan membawa sarapan juga untuknya.
Lantas aku memberanikan diri melangkah ke ruang dosen. Sebelum masuk, aku menghela napas beberapa kali dan mengumpulkan keberanian. Sial, pikiranku malah terbayang-bayang akan respons cuek yang akan mama perlihatkan.
"Nggak, Nadira. Jangan berpikir yang nggak-nggak," gumamku memperingatkan diri sambil menggeleng sebentar sebelum mengetuk pintu.
Aku mendorong pintu, terlihat ruang dosen yang cukup lengang. Hanya ada dua dosen yang ada di ruangan itu. Tak ada mama.
"Permisi," sapaku.
"Nadira? Cari siapa?" Salah seorang dosen yang kuketahui bernama Bu Imelda menyapaku. Kebetulan meja beliau yang cukup dekat dengan pintu. "Bu Em?"
"Eh, n-nggak, Bu. Saya cari ...."
"Ibumu, ya? Lagi ada urusan di pusat riset."
"A-ah, terima kasih, Bu. Saya boleh masuk, mau menaruh titipan untuknya."
"Silakan." Bu Imelda menunjuk meja mama.
Tanpa mau membuang waktu lagi, aku segera menuju meja mama dan meletakkan paper bag serupa yanh kuberikan pada papa. Sebelum pergi, aku melihat setumpuk buku dan kertas-kertas yang memperlihatkan draf proposal penelitian. Ah, jadi ingat dulu, saat mama sering melibatkan aku dalam penelitiannya.
Kini aku hanya bisa tersenyum tipis mengingat hal yang sudah lalu. Lantas sebelum mama kembali, aku merapikan mejanya sebentar. Atensiku teralihkan pada sebuah kertas kecil yang memuat informasi tentang dokter kandungan. Di bawahnya ada buku non fiksi yang membahas wanita hamil dan calon ibu. Buat apa mama membaca buku seperti ini?
Tak mau memusingkannya, aku keluar dari ruang dosen. Sempat mau berpamitan pada Bu Imelda, tetapi wanita itu rupanya sudah tidak di tuangan ini. Gegas aku keluar dari sana. Makanan itu ... dimakan atau tidak, yang pasti aku sudah menyerahkannya.
"Lho, Nadira?" sapa seseorang.
Kulihat Ranti berlari mendekatiku. Oh, kenapa aku harus bertemu dia lagi, sih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Pasutri
Romance[Slow update] Ketika dua garis positif menggemparkan keluargaku, maka tidak ada jalan lain selain meminta pertanggung jawaban. Namun, kenapa mama malah ingin menggugurkan? Tidak, ini buah hatiku. Tidak, ini janinku. Meski ia hadir sebelum aku dan ca...