Chp 3: Pilihan Mas Raja

284 32 0
                                    

Padahal dulu kami tidak secanggung sekarang, tetapi kali ini untuk melangkah ke dapur saja kakiku terasa berat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Padahal dulu kami tidak secanggung sekarang, tetapi kali ini untuk melangkah ke dapur saja kakiku terasa berat. Jauh-jauh hari Mama Ayudia melarangku mengerjakan pekerjaan berat. Sayangnya, aku tidak bisa diam saja. Walaupun sebenarnya masih berat untuk menerima keadaan sekarang.

Jauh di dalam lubuk hati aku meyakinkan diri bahwa perkataan mama ada benarnya. Lebih baik aku meminta berpisah setelah bayiku lahir. Aku tidak bisa hidup seperti ini, di tengah-tengah keluarga Mas Raja yang mendadak asing. Terlebih Papa Malik yang tidak pernah menegurku sejak aku datang ke sini.

Hari demi hari terlewat, tetapi tidak ada yang berubah. Mama Ayudia, Papa Malik, dan Kiara bersikap dingin seperti biasa. Kecuali saat dahulu, ketika aku dan Mas Raja masih berpacaran, mereka tidak sedingin sekarang.

"Nadira, sudah bangun, ya," sapa Mama Ayudia saat aku menjejakkan kaki di ruang tengah. Dari balik partisi, kulihat Papa Malik tengah menikmati hari minggu dengan menonton tayangan berita. "Tolong bawakan kopi untuk papamu, ya."

Untuk papa? Aku terdiam selama sekian detik. Itu berarti alu harus mendekati Papa Malik? Detak jantungku mendadak terpacu. Tanganku dibasahi sedikit keringat. Sejak datang ke rumah ini sebagai menantu, aku tidak pernah mendapatkan respons baik dari Papa Malik. Ia terlampau cuek, begitu kontras dengan dirinya yang dulu.

"Nadira?" tegur Mama Ayudia.

"Oh, iya." Buru-buru aku mengambil nampan di tangan Mama Ayudia. Sebenarnya aku masih merasa canggung untuk memanggil wanita ini dengan sebutan 'Mama'.

"Ayu, bawakan saja kopiku ke belakang. Aku mau cek akuarium," cetus Papa Malik setelah berdeham dan bangkit dari sofa. Televisi yang sempat menyala langsung padam begitu saja.

Pira itu tidak menggubris keberadaanku. Nampan di tanganku sedikit bergetar karena lagi-lagi sikap Papa Malik menambah sesak di dada. Aku memandangi kopi panas yang masih mengepul. Papa Malik? bersikap seakan-akan tidak pernah mau menerima kehadiranku di sini.

"Sini biar Mama. Kamu naik aja," ucap Mama Ayudia seraya mengambil alih nampan.

"Ma, Mas Raja ke mana, ya?" Aku memilih membelokkan arah pembicaraan. Penasaran juga karena sejak tadi, Mas Raja tidak kelihatan.

"Lho, Mama kira Raja udah ngomong sama kamu. Dia lagi keluar sama Sadam. Mau ngecek ru—"

"Ayu?" panggil Papa Malik menggantung kalimat istrinya.

Terlihat Mama Ayudia tidak mau bersama-lama. Ia bergegas meninggalkan aku bersama rasa penasaran yang tertanam. Mas Raja pergi dan tidak memberitahu aku ke mana tujuannya? Yeah, terserah saja ... aku juga tidak mau ia terlalu bersemangat menganggap bahwa kami ini benar-benar suami-istri.

Saat aku hendak melangkah kembali ke kamar, suara Papa Malik dan Mama Ayudia malah sayup-sayup terdengar. Tadinya aku tidak mau menguping, tetapi nama Mas Raja disebut-sebut oleh mereka. Lihatlah! Hanya mendengar namanya saja, aku sudah tertarik. Padahal aku tidak mencintainya lagi. Iya, tidak mungkin.

Bittersweet PasutriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang