Chp 11: Cerita Mas Raja

197 30 1
                                    

"Sedikit lagi, ya, Nadira

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Sedikit lagi, ya, Nadira. Diperbaiki, lalu menghadap ke saya minggu depan," tukas Bu Em sambil menyerahkan draf skripsiku. Sudah tidak banyak coretan lagi, itu berarti langkahku menuju kelulusan kian dekat. "Papamu sering menanyakan progres skripsi kamu, Nadira. Untungnya kamu sudah sampai sejauh ini. Beliau selalu berharap kamu bisa segera lulus."

Aku sedikit terkesiap kaget. Benarkah papa diam-diam sering menanyakan aku—tidak lebih tepatnya tentang skripsiku—pada Bu Em? Begitu saja sebenarnya aku sudah senang. Paling tidak, aku pasti hadir dalam pikiran papa.

Kedua sudut bibirku tertarik membentuk seulas senyum. "Begitu ya, Bu? Saya memang jarang mengobrol dengan papa akhir-akhir ini."

"Karena keputusanmu untuk menikah muda?" tanya Bu Em. Jauh di luar dugaanku, beliau malah membelokkan pembicaraan ke arah sana. "Waktu itu Ibu juga agak kaget, Nadira. Kamu, lho. Seorang Nadira yang selama ini tekun dan ingin lulus tepat waktu. Rasanya seperti tidak nyata."

Kalau sudah mengungkit hal itu, aku menjadi tidak bisa berkutik. Kata-kataku seperti tertahan di tenggorokan. Aku tidak punya keberanian untuk menjawab.

Hal terakhir yang aku lakukan adalah meremas jari-jariku sendiri di atas lutut. Apa Bu Em juga kecewa padaku? Apa aku ini pintar mengecewakan orang lain? Selama ini Bu Em sangat baik padaku dan bahkan beliau sendiri yang memintaku melanjutkan penelitiannya sebagai bahan skripsiku.

Lihatlah sekarang! Bu Em bahkan berucap dengan nada yang terdengar menyimpan kekecewaan di telingaku.

"Tapi, ya sudahlah. Mau dibilang apa? Kan, sudah kejadian," tukas Bu Em.

Aku tersentak kaget. Sudah kejadian? Apa maksudnya? Apa dia tahu kalau aku menikah karena ... perutku seketika bergejolak. Tidak! Aku tidak pernah mengatakannya pada siapa pun.

Seketika ruangan itu berisik oleh suara-suara yang muncul dalam benakku sendiri. Mereka berbisik; mengolok dan mencemoohku berkali-kali. Aku bergerak resah di tempat, meremas kuat jari-jariku sendiri.

Ya, kamu ini memang durhaka, Nadira.

Dasar anak tidak tahu balas budi. Anak durhaka.

Kasihan orang tuamu. Orang tuamu pasti kecewa. Kok, bisa anaknya sebebal kamu?

Kamu itu menikah karena hamil duluan. Aduh, gadis macam apa sih kamu ini?

Suara-suara itu berganti menjadi suara Bu Em. Tatkala aku mencoba melihat ke arahnya, Bu Em memandangiku dengan sorot meremehkan. Matanya berkilat-kilat mengejekku dengan ekspresinya.

Kamu ini anak kotor! Anak durhaka! Dalam benakku, Bu Em terus berteriak mengejek. Sementara aku sudah tidak tahan ingin kabur saja. Tanggaku seketika bergetar, tubuhku tidak bisa digerakkan.

"Nadira? Nadira?" panggil Bu Em. Wanita itu tahu-tahu sudah memegangi kedua bahuku. Sorot mata Bu Em berganti penuh kekhawatiran. "Kamu kenapa? Apa kamu sedang sakit?"

Bittersweet PasutriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang