Bab 30. Kemeja Arthur

11.2K 1.2K 29
                                    

"Maaf, waktu itu aku nggak bisa nemenin kamu operasi" bisiknya kecil tertunduk sesal, di sudut matanya, ia melirik ke arah Arthur yang sedang tampak fokus duduk di kursi pengemudi.

Arthur mendengar perkataan Karel dengan tenang, senyumnya mengembang perlahan "Sayang, jangan terus meminta maaf, tapi kamu bisa memberi saya kompensasi" jawabnya dengan nada yang cukup rendah.

Kata-kata Arthur membuat Karel terhenyak. Lehernya spontan berbalik menatap Arthur dan di sana ia melihat senyum aneh yang terlukis di wajah pacarnya. Tiba-tiba ia memiliki firasat yang buruk.

Karel menyipitkan mata dan menatap Arthur sejenak, "Aku capek" Setelah mengatakan itu, ia segera menyandarkan kepalanya ke kursi untuk berpura-pura tidur.

Namun, Arthur tidak menyerah begitu saja. Dengan cepat, suaranya terdengar antusias, "Kamu tenang saja, saya yang akan memasak" 

Karel membuka sebelah matanya, menatap Arthur dengan skeptis "Masak?" tanyanya dengan nada tak percaya.

Arthur hanya mengangguk cepat "Iya, kita gagal untuk makan malam di hari ulang tahun saya, jadi itu kompensasi yang saya inginkan"

Mendengar itu, bibir Karel spontan berkedut dan ia segera memanyunkan bibirnya. Dengan cepat, ia kembali menutup matanya, berpura-pura tidur lagi. ia kira tadi arthur akan meminta hal 'itu'.

Arthur, yang masih fokus menyetir, melirik kerah pacarnya sekilas. Suasana hening di dalam mobil membuat Arthur menyadri suasana hati pacarnaya yang buruk, kenapa? apa ia melakukan kesalahan? 

"Sayang bagaimana?" tanyanya dengan nada berhati-hati dengan mata menatap karel peunuh harap.

"Terserah" Karel lalu melipat tangannya di atas dada, matanya menatap jendela yang menampilkan pemandangan bangunan-bangunan modern.

Benaknya masih kesal bagaimana ia bisa berakhir deagan pria tua yang sama sekali kaku dan tidak romantis.

Setelah perjalanan yang terasa lama dalam keheningan yang membeku, mereka akhirnya tiba di sebuah rumah besar dengan arsitektur klasik, dinding putih bersih yang megah dan halaman luas yang tertata rapi.

Setelah bertanya kamarnya, ia segera melengos tanpa berbalik badan dan membanting pintu itu keras dan kemudian tertidur di ranjang empuk itu. 

Karel megerutkan keningnya kesal, apakah Arthur tidak menyadari bahwa ia sedang kesal, entahlah ia lelah dan ingin tidur.

Saat Karel membuka matanya, ia menyadari bahwa matahari sudah tenggelam, cahaya senja yang tersisa samar-samar menyinari kamar. Dengan malas, ia melakukan peregangan.

Matanya menyapu kamar, mencari keberadaan Arthur, namun ia tidak menemukannya di mana pun, dengan bibir cemberut, ia mulai memasuki kamar mandi karena badannya sudah mulai lengket.

Setelah berendam di bath up, rasa segar kembali mengisi tubuhnya. Namun, begitu ia selesai dan hendak berpakaian, ia menyadari ada sesuatu yang aneh.

"Koper gue kemana njir, masa gue gapake baju?" gumamnya panik mengelilingi kamar.

lalu matanya menatap lemari besar di depannya dan membuka lemari pakaian Arthur, siapa tau ada yang muat?

Namun, ia tertegun sejenak ketika melihat isinya sebagai adalah kemeja putih dan hitam dan tidak ada warna lain yang menghiasi rak-rak tersebut.

ia juga mengalihkan ke arah dasi yang berjejer dan tidak menemukan dasi lain selain warna hitam, ia menghela nafas kasar, untung saja waktu itu ia sempat membelikan arthur dasi bermotif macan tutul, tapi sayang sekali kopernya ia tak tau dimana.

Bajunya menghilang dan semua baju dan celana Arthur tentu saja kebesaran.

Namun, beberapa saat senyumnya mengambang entah mengapa ia memiliki ide untuk membalas Arthur yang kaku dan tidak peka.

Setelah selesai berpakaian, ia mulai mencari Arthur dan perlahan menuruni tangga. Suara langkah kakinya bergema di sepanjang ruangan yang hening, menarik perhatian Arthur yang langsung berbalik.

Mata Arthur membelalak terkejut saat mendapati pemandangan di hadapannya, dimana Karel berdiri di tangga hanya mengenakan kemejanya yang tampak kebesaran, tanpa celana, dan kemeja itu hanya mampu menutup setengah pahanya. 

Penampilan kekasihnya yang begitu provokatif itu membuat jantung Arthur berdetak lebih cepat.

Arthur menelan ludahnya dengan susah payah, tubuhnya membeku seketika. Matanya masih terpaku pada paha putih Karel yang perlahan bergerak lamban menuruni tangga.

Awsss! 

Desisnya tiba-tiba, refleks membuang pisau dari tangannya ketika merasakan hdarh segar mengalir dari jarinya.

Karel, yang awalnya hanya berniat menggoda, terkejut ketika melihat Arthur terluka. Ia segera mempercepat langkahnya, berlari kecil mendekati Arthur yang masih terpaku di tempat.

Dengan senyum puas yang bermain di bibirnya, ia tiba-tiba mendapatkan ide, Karel mendekat dan dengan lembut mengangkat tangan Arthur yang terluka. 

Tanpa ragu, ia mulai menghisap darah yang keluar dari jari itu.

"Jangan itu kotor" bisik Arthur dengan nada rendah meskipun suaranya sedikit bergetar.

Matanya terus tertuju pada jari yang kini terlihat bersih, bekas darah mulai menghilang kerana perlakuan karel.

Namun, Karel hanya tersenyum lebih lebar mempertahankan cengkeramannya pada tangan Arthur. "Manis"

Mendengar ucapan polos dari kekasihnya, telinga Arthur langsung memerah dan rona merah itu dengan cepat menyebar ke seluruh wajahnya. Ia buru-buru memalingkan wajahnya.

"Kamu punya P3K?" tanya Karel tanpa melihat ke arah Arthur.

Arthur tetap memalingkan wajah, hanya menunjuk dengan tenang ke arah lemari kaca di sudut ruangan. Karel segera mengambil kotak P3K tersebut dan mulai mengobati luka di tangan Arthur dengan gerakan yang hati-hati.

Sementara itu, mata Arthur berbalik terus menatap rambut basah Karel yang masih meneteskan air. Tetesan itu perlahan turun melewati leher yang putih kemudian menghilang terserap oleh kemeja yang terlalu besar untuk tubuhnya.

Arthur meneguk ludahnya dengan susah payah, berusaha menahan reaksi tubuhnya dan kembali memalingkan wajah. ia takut jika terus menatap kekasihnya, maka ia akan menyerang Karel di dapur ini.

"Kenapa kamu tidak mengeringkan rambutmu? Hal itu bisa membuatmu sakit," gumam Arthur dengan nada khawatir, meskipun suaranya terdengar serak.

Karel berhenti sejenak, menatap luka Arthur dengan serius, tapi kemudian menjawab sambil tersenyum tipis, "Emm... nanti kamu saja yang ngeringin gimana?"

Setelah selesai mengobati luka tersebut, Karel menatap hasil kerjanya dengan puas. "Kamu duduk di sini, biar aku yang masak," katanya dengan nada tenang. 

Namun, saat Karel melirik ke arah dapur, wajahnya berubah. Ia meringis melihat wortel yang dipotong dengan bentuk abstrak dan kuah dalam panci yang terlihat keruh.

"Gue curiga gue bakal diracunin sampai mati" gumam Karel pelan, melirik Arthur yang duduk di meja dengan mata berbinar.

Karel mulai meregangkan tangannya dan mulai memindahkan panci keruh itu ke wastafel dan mulai menggantinya dengan wajan baru.

"Hati-hati, itu berbahaya!" panik Arthur, matanya tidak lepas dari pisau yang berada di tangan Karel.

ia hanya menarik nafas kasar mendengar kekhawatiran Arthur, ia sama sekali tidak takut, karena dimasa lalu pisau adalah pendampingnya, tapi bukan untuk memotong sayuran, melainkan untuk menyayat tubuh manusia.

..
.
.

Jangan lupa untuk vote dan komen
.
.
.

[BL] VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang