Setelah mengantar Arthur pulang, ia melangkah kembali ke apartemennya.
Meski lebih kecil dan sederhana dibandingkan tempat tinggalnya dulu, ia tetap merasa beruntung bisa terlahir dalam tubuh yang cukup kaya.
Tangannya terulur untuk membuka pintu balkon. Tanpa banyak berpikir, tangannya merogoh ke dalam saku, mengeluarkan sebatang rokok. Lalu, menyalakan pemantik api dan menyulut rokok itu.
Asap perlahan mulai menguar, menyelimuti wajahnya, sementara matanya terpejam menikmati angin malam yang menerobos.
Biasanya, ia tak pernah merokok seperti ini di depan Arthur—lelaki itu benci asap rokok dan selalu melarangnya.
Tapi kini, Arthur bahkan tak lagi mengingatnya, tak lagi mengenal apa pun tentang dirinya. Memikirkan itu, bibirnya teranggkat membantuk senyum pahit.
Sebenarnya, ia pun belum sepenuhnya mengerti mengapa jiwanya bisa terperangkap dalam dunia novel ini.
Awalnya, ia berusaha mengabaikan keanehan itu, berpura-pura seolah dunia ini adalah lanjutan dari kehidupan lamanya. Tapi seiring waktu, hidupnya kian berantakan.
Ia ingin tahu, ingin menggali jawabannya. Namun, pada siapa ia bisa bertanya? Satu ide gila terlintas di otaknya, bagaimana jika ia mencoba melompat, mati, dan mencari jawaban.
Kenapa ia kembali pada dunia nyata, pada saat ulang tahunnya dan surat siapa itu. Tapi tunggu, bukankah surat itu berasal dari Athur.
Detak jantungnya seolah berhenti sejenak saat memikirkan kemungkinan itu. Dengan tergesa-gesa, ia membuang rokoknya, langkahnya berderap cepat menuju basement.
Apa sebenarnya hubungan surat itu dengan Arthur?
Kakinya bergerak seolah tanpa kendali, menginjak pedal gas dengan keras sementara tatapannya kosong, pikiran tentang berbagai kemungkinan mulai berkecambuk di otaknya.
Apa arthur dalangnya? apa Arthur mempermainkannya? Memikirkan itu, membuat suasana hatinya menjadi rumit.
Jari-jarinya mencengkeram erat setir, dan tanpa sadar, ia semakin menekan pedal gas. Mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi, membelah malam kota Jakarta yang ramai.
Tiba-tiba, di ujung pandangannya, seorang pejalan kaki tampak melintas dengan cepat. Refleksnya menekan pedal rem keras-keras, menghasilkan suara decitan yang tajam.
Dengan sigap, ia membuka kaca jendela, lalu keluar dari mobil untuk melihat keadaan.
Di sana, ia melihat seorang wanita yang tampak ketakutan, masih terjengkal dan memegang lututnya di depan mobil. Napas wanita itu tersengal masih tampak terkejut.
"Anda baik-baik saja?" tanyanya, suaranya sengaja dilunakkan.
Wanita itu mendongak, dan begitu mata mereka bertemu, ekspresinya berubah terkejut. "Karelio?"
Karel terpaku sejenak. Wajahnya tak kalah kaget. Ia mengenali wanita itu, sosok yang wajahnya selalu terpajang di ruang keluarga, tidak lain adalah ibunya.
"Mari masuk ke mobil terlebih dahulu"
Wanita itu mengangguk pelan, lalu masuk ke kursi penumpang depan "Terima kasih sudah menolong saya," ucapnya dengan nada formal.
Karel hanya mengangguk, pandangannya kembali ke jalanan yang mulai sepi. Pikiran-pikiran aneh muncul dalam kepalanya.
Seingatnya, ia lahir pada bulan November, dan sekarang baru awal Februari. Logikanya, seharusnya ayah dan ibunya sudah menikah dan bahkan mungkin sedang mengandung dirinya.
Tapi tadi, ia sempat melihat ayahnya tengah berciuman dengan ornag lain. Pikiran itu, membuat tubuhnya menegang tanpa disadari.
Tapi ia segera menenagkan dirinya, itu bukan urusannya karena ia bukan anak mereka yang asli.
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Villain
Fantasía|End| Karel terjebak dalam sebuah novel remaja dan harus memerankan sosok penjahat berusia 18 tahun. Namun, ia merasa bersyukur karena karakter penjahat yang ia perankan hidup dalam kemewahan, jadi ia tidak perlu bekerja keras seperti dikehidupan se...