✩₊̣̇. Bab 7. Kenapa Dia Kembali?

113 14 20
                                    

╭━─━─━─≪✠≫─━─━─━╮
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Selamat Membaca♡

Mari Syukuri Yang
Sudah Ada☆
╰━─━─━─≪✠≫─━─━─━╯

Hamza terdiam sejenak, rasa bersalah menggumpal di dadanya seperti awan gelap yang pekat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hamza terdiam sejenak, rasa bersalah menggumpal di dadanya seperti awan gelap yang pekat. Ucapan terima kasih itu justru membuatnya merasa lebih kecil. Ia mengira akan menghadapi kemarahan atau kekecewaan dari orang tua Ratu, namun yang ia temui malah keramahan yang hangat dan syukur yang tak terduga.

"Saya... Saya hanya melakukan apa yang seharusnya, Bibi," ucap Hamza dengan suara serak, menundukkan kepalanya sedikit, seolah berusaha menyembunyikan kegugupan yang kini menguasainya. Napasnya terasa berat, seperti ada beban yang sulit diangkat.

Adipati memandang Hamza dengan tatapan penuh pengertian, sesuatu yang membuat Hamza semakin tidak nyaman dengan perasaan bersalahnya. "Nak Hamza," ujar Adipati pelan namun tegas, "kami tahu ini bukan hal yang mudah untukmu. Tapi melihatmu tetap peduli pada Ratu setelah semua yang terjadi, membuat kami benar-benar senang."

Hamza menelan salivanya, merasakan tekanan di dadanya semakin berat. Kebaikan mereka justru menguatkan rasa bersalah yang ia coba sembunyikan. Bagaimana bisa ia dimaafkan semudah ini? Tatapannya tertunduk dalam, sementara ia mengumpulkan keberanian untuk berkata lebih jauh.

"Saya... belum bisa menebus kesalahan saya, Paman. Saya hampir kehilangan Ratu... karena ketidakpedulian saya sendiri," bisik Hamza, suaranya pecah di antara rasa sakit yang ia coba tahan. Tubuhnya sedikit gemetar, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha meredam emosi yang bergelora di dalam hatinya.

Yumna melangkah maju, menatap Hamza dengan kelembutan yang hampir tak tertahankan. Tangannya terulur, menepuk pelan bahu Hamza. "Nak, semua orang membuat kesalahan," katanya lembut, suaranya penuh penghiburan. "Bibi juga merasa bersalah... Mungkin lebih dari siapa pun. Tapi yang terpenting, kita harus belajar memaafkan diri sendiri. Pintu keluarga ini akan selalu terbuka untukmu."

Hamza terdiam, membiarkan kata-kata Yumna dan Adipati meresap ke dalam hatinya. Ada kehangatan yang perlahan mengisi celah kosong di hatinya, meskipun perasaan bersalah masih bergelayut. Namun, di balik itu semua, ia mulai merasakan perasaan syukur yang pelan-pelan muncul ke permukaan.

"Terima kasih, Paman... Bibi..." bisiknya, hampir tak terdengar. Matanya mulai berkabut, tapi ia menahan air mata yang hampir jatuh. Dia tahu bahwa di hadapan mereka, ia harus tetap kuat-bukan untuk dirinya, tetapi untuk Ratu.

Hamza menarik napas panjang, menenangkan detak jantungnya yang masih berdebar. Ini adalah saat yang telah lama ia pikirkan, dan sekarang waktunya. Ia mengangkat kepalanya, memandang Adipati dan Yumna dengan tekad yang semakin membara.

Sehembus Angin Harapan [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang