✩₊̣̇. Bab 14. Pesan Terakhir Raga

90 12 13
                                    

       ╭━─━─━─≪✠≫─━─━─━╮      
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Selamat Membaca♡

Yesterday is a history.
Tomorrow is a mistery.
But today, its a gift.
That is why that is called present♡
╰━─━─━─≪✠≫─━─━─━╯

Rumah orang tua Hamza berdiri kokoh di tengah perumahan yang teduh, dengan pohon mangga dan jambu yang sudah puluhan tahun tumbuh di halaman depan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rumah orang tua Hamza berdiri kokoh di tengah perumahan yang teduh, dengan pohon mangga dan jambu yang sudah puluhan tahun tumbuh di halaman depan. Dinding rumah bercat krem mulai memudar, namun tetap terlihat rapi dan hangat. Di ruang tamu yang luas, tercium wangi teh melati yang selalu disiapkan Umma (ibu) setiap kali anak-anaknya berkumpul. Kursi-kursi kayu jati di ruang keluarga sudah sedikit usang, namun tak pernah berubah posisi sejak Hamza kanak-kanak. Di sinilah semua kenangan masa kecil dan kebersamaan mereka tertinggal. Rumah ini tetap terasa damai oleh canda tawa. Tempat berlindung yang selalu membuat Hamza merasa nyaman meski dunia luar begitu keras.

Di tengah penyidikannya, meski hanya untuk semalam, Hamza menyempatkan diri pulang ke rumah orang tuanya seperti biasa. Rumah itu ramai lebih dari biasanya, dengan kedua kakak dan adik-adiknya yang semuanya datang membawa pasangan dan anak masing-masing.

Namun saat ini, ruang keluarga sudah lebih kosong, karena sebagian sudah mengistirahatkan diri, mengingat malam telah semakin larut.

Di ruang keluarga itu, Hamza sedang bermain dengan keponakan kecilnya yang belum tidur. Tiba-tiba Qutub, adik laki-laki bungsunya—satu-satunya anak yang tinggal di rumah orang tuanya, karena rumah ini sudah diberikan untuk Qutub—yang biasanya paling irit bicara, angkat suara, "Kak Hamza, kapan kamu menikah?"

Hamza hanya menghela napas panjang, pandangannya tetap pada mainan di tangannya. "Jangan bertanya sesuatu yang mungkin tak ingin kamu dengar jawabannya."

"Eh, iya... Hamza doang yang belum nikah, ya? Berapa umurmu sekarang, Za?" ledek kakak keduanya, Bilqis, sambil melirik adiknya.

"33," jawab Hamza singkat, seolah tak ingin menambah bahan obrolan.

"Hamza, Hamza... Bisa kayak gini gak?" Kakak sulungnya, Ishaq, tiba-tiba merangkul istrinya dan mencium pipinya dengan pamer, sengaja meledek Hamza.

"Jangan begitu, Kak! Kak Hamza sebentar lagi menikah dengan Kak Ratu, loh," ucap Lizzy, adik perempuan Hamza yang sedang mengandung, dengan nada setengah berbisik tapi cukup untuk memancing perhatian semua orang.

"HAH?! Yang benar?!" seruan serempak terdengar dari saudara-saudaranya. Mereka semua tahu cerita lama tentang Hamza yang pernah dijodohkan dengan Ratu, tapi pernikahan gagal terlaksana. Dan hubungan mereka berakhir dengan canggung.

"Bukannya waktu itu batal?" tanya suami Bilqis, dengan wajah penuh penasaran, seraya melirik istrinya untuk memastikan.

Hamza mengangguk pelan, dengan ekspresi senang yang tak dapat disembunyikan. "Tapi sekarang, insyaAllah jadi."

Sehembus Angin Harapan [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang