✩₊̣̇. Bab 30. Kita, Sebelum Terluka (5)

60 10 11
                                    

     ╭━─━─━─≪✠≫─━─━─━╮      
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Selamat Membaca...

     ⚠️Alur Mundur⚠️   
╰━─━─━─≪✠≫─━─━─━╯

Ratu turun dari kamarnya, sudah rapi dengan baju dan rok berwarna cokelat kesukaannya, serta hijab yang terbalut rapi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ratu turun dari kamarnya, sudah rapi dengan baju dan rok berwarna cokelat kesukaannya, serta hijab yang terbalut rapi. Hari ini adalah hari penting. Proyek pembangunan hotelnya akan dimulai, dan dia berencana untuk memantau langsung perkembangan di lapangan.

Namun, begitu sampai di anak tangga terakhir, ia mendengar suara ayah dan ibunya yang juga sedang turun dari tangga lain. Di rumah Ratu, memang ada dua tangga—satu menuju kamar Ratu dan satu lagi menuju kamar kedua orang tuanya.

"Ratu... jangan pergi dulu, sayang..." panggil Ayahnya.

Ratu menoleh dengan sedikit heran. "Aku mau lihat pembangunan, Ayah, Ibu..." jawabnya sambil memandangi mereka.

"Iya, nanti saja, ya. Tunggu dulu, mau ada tamu datang," ucap ibunya, Yumna lembut.

Meski merasa sedikit kecewa karena ingin cepat-cepat memantau proyek, Ratu mengangguk dengan sabar. "Oke, baik...," gumamnya, kemudian berjalan menuju ruang tamu, diikuti kedua orang tuanya. Mereka berbincang-bincang sambil menunggu tamu yang dimaksud.

Beberapa menit kemudian, terdengar deru mobil mendekati halaman rumah. Hamza, Malik, dan Humaira tiba di rumah besar keluarga Ratu.

"Selamat pagi, Pak," sapa Malik dengan sopan pada penjaga keamanan di gerbang.

"Pagi, Pak," balas penjaga keamanan itu, membukakan pintu gerbang besar yang kokoh dan megah.

Mobil mereka meluncur masuk ke pekarangan rumah yang luas, diapit pepohonan rindang dan taman hijau yang menyejukkan mata. Saat mereka turun dari mobil, Hamza, yang tak bisa menahan kekagumannya, langsung nyeletuk, "Buset, gede banget rumahnya."

Malik hanya tertawa kecil mendengar komentar anaknya itu. "Maklum, orang kaya, anaknya cuma satu," balas Malik santai.

Hamza ikut tertawa. "Ayah juga orang kaya, tapi rumahnya nggak semewah ini."

"Kamu mau rumah kayak gini juga, Za?" tanya Humaira, sedikit menggoda.

Hamza menggeleng, lalu melirik bangunan besar di hadapannya. Namun, ia tak bisa menahan diri untuk nyeletuk lagi, "Rumah segede ini... apa nggak sepi, ya? Anak tunggal pula."

Malik yang berjalan di sampingnya tersenyum penuh arti. "Pasti sepi... makanya nanti kalau kamu jadi nikah sama dia, bikin anak yang banyak," ucap Malik setengah bercanda.

Hamza terbatuk-batuk mendengar lelucon ayahnya itu.

Humaira hanya menepuk bahu Hamza sambil tertawa pelan, menyadari betapa malunya anaknya ketika topik ini diangkat. Tapi, jauh di lubuk hati, Hamza tahu bahwa pembicaraan ini akan menjadi lebih serius setelah mereka masuk ke dalam rumah.

Sehembus Angin Harapan [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang