✩₊̣̇. Bab 45. Sebab Cinta, Melewati Batas Logika (5)

44 10 14
                                    

      ╭━─━─━─≪✠≫─━─━─━╮      
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

  Selamat Membaca💫

  Jangan Lupa Bahagia💌 
╰━─━─━─≪✠≫─━─━─━╯

  Jangan Lupa Bahagia💌  ╰━─━─━─≪✠≫─━─━─━╯

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tiga bulan kemudian. Ratu akhirnya diizinkan pulang. Dia telah melewati masa kritis, pemulihan luka, dan rehabilitasi yang melelahkan. Meski tubuhnya belum sepenuhnya kuat, Ratu merasa tenang karena satu hal: Hamza berjanji untuk tetap di sisinya.

Begitu memasuki rumah, Ratu segera menyampaikan keinginannya. "Ayah, aku mau bertemu Hamza," ucapnya dengan suara pelan tapi penuh harap.

Yumna yang berdiri di samping ayah Ratu mendengkus berat sebelum menjawab, "Lupakan Hamza, Sayang."

Ratu menoleh cepat. "Tidak mau, Bu, aku–"

Belum sempat Ratu menyelesaikan kalimatnya, Yumna memotong ucapannya, nada suaranya terdengar tegas dan dingin.

"Menurutmu kenapa Hamza tidak pernah datang selama kamu tiga bulan di rumah sakit?"

Ratu terpaku, pikirannya bergejolak. Kata-kata Yumna menggantung di udara, terasa menusuk. Ruang tamu terasa semakin sempit, seakan dinding-dindingnya memerangkap rasa sakit yang muncul tiba-tiba.

"Dia tidak pantas untukmu, Nak," Yumna melanjutkan, mencoba menahan emosi. Sorot matanya yang tajam bertemu dengan tatapan Ratu yang mulai berkaca-kaca.

Ratu mengernyit, hatinya mencelos. "Jadi, maksud Ibu... dia pergi? Lagi?"

Seakan dalam ruang itu, kata-kata menjadi senjata yang melukai hati yang baru saja pulih.

━─━─━─≪✠≫─━─━─━

Setelah perpisahannya dengan Ratu, Hamza seakan kehilangan pusat gravitasi hidupnya. Semua yang dulu membentuk dirinya—disiplin yang tegas, kebanggaan akan setiap tugas yang diemban, dan ketajaman yang hampir tanpa cela—lenyap entah ke mana. Di depan cermin barak, matanya yang kosong dan lingkar hitam di bawahnya seakan menjadi bukti dari kehampaan yang bersemayam di dalam dirinya. Tak lagi ada pancaran ketegasan, hanya kerutan lelah dan tatapan yang jauh.

Malam-malam terasa begitu panjang, dan setiap detik seolah melahirkan kerinduan baru. Dalam setiap tarikan napasnya, nama Ratu mengalir seperti luka yang tak kunjung kering. Mungkinkah ini akhirnya? Tidak bisakah ia memperbaiki ini? Pertanyaan itu berulang tanpa jawaban.

Suatu hari, di medan latihan, Hamza gagal fokus, membuatnya meleset saat membidik. Dia mencoba mengulangnya, tapi hasilnya tetap sama.

"HAMZA! FOKUS!!" Letkol Pramudya berteriak, memotong keheningan yang memecah konsentrasinya.

Tersentak, Hamza menjawab, "Siap! salah!" Nada tegasnya terdengar getir, kosong dari keyakinan yang dulu begitu mengakar. Kali ini, Pramudya menghampirinya dan menepuk pundaknya dengan lembut, sorot matanya penuh kekhawatiran. "Hamza, ada apa sebenarnya? Kau seperti orang yang kehilangan arah."

Sehembus Angin Harapan [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang