Sokhwie menyandarkan kepalanya di dada Tae Do, merasakan detak jantungnya yang kuat dan stabil. Rasa hangat menyelimuti hatinya, rasa aman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sokhwie merasa aman berada dalam pelukan Tae Do, tidak ada satu pun yang bisa menyakitinya. Sokhwie merasa sangat lemah dan pandangannya mulai buram.
Tae Do terkejut saat Sokhwie tak sadarkan diri. "Sokhwie!" panggilnya panik. Langkahnya cepat dan pasti, membawa Sokhwie masuk ke dalam istana. Begitu masuk ke kamar, Tae Do meletakkan Sokhwie dengan hati-hati di atas tempat tidur. Dia kemudian bergegas mengambil kain basah untuk membersihkan luka-luka di tubuh Sokhwie.
Meskipun para pelayan sudah siap sedia untuk membantu, Tae Do mengusir mereka dengan tegas. "Aku yang akan merawatnya," ujarnya dingin, membuat para pelayan terdiam dan mundur keluar. Dengan penuh perhatian, Tae Do merawat luka Sokhwie, membersihkannya dengan telaten, seakan setiap goresan di kulitnya juga terasa sakit di hatinya.
Saat sedang merawat Sokhwie, Tae Do mendengar langkah-langkah mendekat. Dia menoleh dan melihat Min Joo bersama Min Hyun di ambang pintu. Wajah Min Joo terlihat penuh kemarahan dan kecemburuan, sementara Min Hyun hanya terlihat bingung dan sedikit cemas.
"Guru dan Min Joo," kata Tae Do lagi, lebih tegas. "Pergi dari sini. Kalian tidak diinginkan di istana ini lagi."
Setelah mendengar perintah dari Tae Do, udara di sekitarnya seakan membeku. Min Joo dan Min Hyun berdiri di ambang pintu, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Wajah Min Joo memerah karena marah dan terkejut, sementara Min Hyun hanya menatap Tae Do dengan mata menyipit, seakan mencoba mencari jawaban dari sikap muridnya yang tak pernah ia bayangkan.
Min Joo langsung melangkah maju, emosinya meluap. "Tae Do, kau tidak bisa mengusir kami begitu saja! Aku melakukan ini demi melindungimu!" teriak Min Joo, suaranya menggema di aula istana, penuh dengan keputusasaan dan kemarahan.
"Melindungiku?" Tae Do balas dengan dingin, pandangannya tajam menusuk Min Joo. "Dengan menuduh Sokhwie dan menyakitinya? Itu bukan perlindungan, Min Joo. Itu adalah pengkhianatan. Keluarlah sekarang sebelum aku benar-benar marah!"
Min Joo tampak tercengang. Dia tak percaya bahwa Tae Do, yang selama ini dikenal sebagai sosok yang tenang dan penuh hormat, dapat mengeluarkan kata-kata seperti itu kepadanya. "Baik, aku akan pergi," katanya dengan nada yang berubah dingin dan tajam. "Tapi ingat, Tae Do, aku tidak akan pernah menyerah. Kau milikku!"
Di saat itu, Min Hyun, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Tae Do," katanya dengan nada penuh kekecewaan. "Aku tidak menyangka kau bisa berbuat seperti ini. Aku adalah gurumu, orang yang pernah kau hormati. Apakah semua yang telah aku ajarkan tidak berarti apa-apa bagimu?"
Tae Do berbalik menatap Min Hyun dengan sorot mata yang penuh tekad. "Guru, aku menghormatimu sebagai orang yang pernah mengajarkanku banyak hal. Namun, sekarang aku adalah pemimpin wilayah ini, dan aku memiliki tanggung jawab untuk melindungi orang-orang yang ada di dalamnya, termasuk Sokhwie. Anda seharusnya lebih tahu bagaimana mendidik putrimu. Bukannya melindungi yang orang yang tidak bersalah, justru kalian yang menjadi ancaman."
Min Hyun mendengus marah, wajahnya memerah karena emosi yang tertahan. "Berani sekali kau berbicara seperti itu padaku. Kau pikir kau bisa melakukan ini tanpa konsekuensi?, Kau telah menghina aku dan putriku. Kau akan menyesali perbuatanmu ini, Tae Do."
Dengan wajah penuh kemarahan, Min Hyun menarik lengan Min Joo yang masih menatap Tae Do dengan penuh kebencian. "Kita pergi," perintah Min Hyun kepada putrinya. Meski masih ingin melawan, Min Joo akhirnya mengikuti ayahnya, langkah mereka penuh dengan amarah yang terpendam.
Sebelum berbalik, Min Hyun menatap Tae Do untuk terakhir kalinya. "Ini belum berakhir, Tae Do. Penghinaan ini akan kubalas," katanya dengan suara yang berat dan penuh ancaman, sebelum akhirnya mereka berdua berjalan keluar dari istana, meninggalkan jejak ketegangan yang belum juga hilang.
Tae Do berdiri diam, memandang kepergian mereka dengan perasaan campur aduk. Dia tahu, dengan keputusan ini, dia mungkin telah membuat musuh dari orang yang dulu ia hormati sebagai guru. Namun bagi Tae Do, menjaga keamanan Sokhwie dan orang-orang yang ia cintai adalah hal yang paling penting. Dia akan melakukan apapun untuk memastikan mereka aman, bahkan jika itu berarti menghadapi murka dari gurunya sendiri.
Beberapa hari berlalu. Tae Do dengan penuh perhatian merawat Sokhwie, memastikan ia mendapatkan perawatan terbaik. Setiap hari, Tae Do mengunjungi kamar Sokhwie, mengawasi kondisinya, dan memastikan ia pulih dengan baik. Ia bahkan sering menghabiskan malam di samping tempat tidurnya, hanya untuk memastikan bahwa Sokhwie aman.
Suatu hari, ketika Tae Do sedang mengganti perban di lengan Sokhwie, Sokhwie yang sudah mulai pulih membuka matanya perlahan. "Tuan, kenapa Anda berkata seperti itu di tempat eksekusi?" tanya Sokhwie dengan suara lemah, mengingat kejadian yang telah mengubah segalanya.
Tae Do berhenti sejenak, menatap wajah Sokhwie yang terlihat lelah tapi masih memancarkan kecantikan alaminya. "Karena aku tidak bisa lagi menyembunyikan perasaanku," jawabnya jujur. "Aku menyukai keberanianmu, prinsipmu yang kuat, dan keteguhan hatimu. Sejak pertama kali melihatmu di kamar Nam Kyu, aku tahu ada sesuatu yang istimewa tentangmu. Aku telah jatuh cinta padamu sejak saat itu."
Tae Do kemudian merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah cincin sederhana namun elegan yang dihiasi berlian kecil. "Aku pergi ke wilayah lain untuk mencari berlian ini. Aku ingin membuat sesuatu yang spesial untukmu," katanya, menyerahkan cincin itu pada Sokhwie.
Sokhwie tak bisa menahan air matanya. Cintanya kepada Tae Do selama ini, yang ia anggap bertepuk sebelah tangan, ternyata disambut dengan perasaan yang sama. Melihat Sokhwie menangis, Tae Do panik, mengira ia telah menekan Sokhwie dengan perasaannya. "Maafkan aku, Sokhwie. Aku tidak bermaksud memaksamu untuk membalas perasaanku."
Sokhwie menggeleng sambil tersenyum di antara air matanya yang masih mengalir. "Bukan itu, Tuan. Aku menangis karena aku juga mencintaimu" bisiknya, suaranya bergetar karena emosi yang membuncah.
Mendengar panggilan "Tuan" dari bibir Sokhwie, ekspresi Tae Do berubah seketika. Mata Tae Do menatapnya tajam, dan suaranya terdengar tegas, meski lembut. "Sokhwie, berhentilah memanggilku 'Tuan'. Aku ingin kau memanggilku 'suamiku'. Karena aku akan segera menikahimu," kata Tae Do penuh keyakinan.
Sokhwie terdiam, wajahnya memerah mendengar kata-kata Tae Do yang langsung. Ia menundukkan kepalanya, merasa malu, tidak tahu bagaimana harus merespons. Tae Do yang melihat reaksi Sokhwie tidak bisa menahan senyumnya. Ia meraih dagu Sokhwie dengan lembut, mengangkat wajahnya sehingga mata mereka bertemu. "Kenapa diam? Coba panggil aku 'suamiku'," pinta Tae Do dengan nada menggoda, senyum nakalnya membuat Sokhwie semakin salah tingkah.
Dengan malu-malu, Sokhwie berbisik hampir tak terdengar, "Suamiku..." Namun suaranya terlalu pelan, seperti angin yang berbisik di antara daun-daun.
"Lebih keras," desak Tae Do, kali ini nadanya lebih serius, tapi masih dengan senyum di bibirnya. Sokhwie mencoba mengumpulkan keberaniannya, tapi wajahnya semakin memerah. Ia akhirnya bergumam lagi, "Suamiku..."
Tae Do tertawa kecil, puas melihat bagaimana Sokhwie merasa malu. Ia semakin mendekat, membuat jarak di antara mereka hampir tidak ada. "Sekali lagi," Tae Do memerintah lembut, suaranya menggoda. Sokhwie, yang semakin tidak tahan dengan situasi ini, mengalihkan pandangannya dan berusaha kembali berbaring, berharap bisa menyembunyikan rasa malunya. Tapi Tae Do tidak membiarkan Sokhwie lari begitu saja.
Dengan cepat, Tae Do menangkap pergelangan tangan Sokhwie dan menariknya ke dalam pelukannya. Sebelum Sokhwie sempat protes, Tae Do menundukkan kepalanya dan mencium bibir Sokhwie, menyegel kebisuan di antara mereka. Ciuman itu lembut pada awalnya, tapi semakin lama semakin dalam, seakan ingin menumpahkan semua perasaan yang selama ini terpendam. Sokhwie merasa tubuhnya melemah, tapi hatinya menguat. Ia membalas ciuman Tae Do dengan gairah yang sama, seolah-olah itulah cara terbaik untuk mengungkapkan perasaannya.
Malam itu, di bawah cahaya rembulan yang menyelinap melalui celah tirai kamar, mereka membiarkan cinta mereka mengalir bebas. Dalam kehangatan satu sama lain, mereka merasakan seolah waktu berhenti. Cinta yang lama terpendam kini menemukan tempatnya, membungkus mereka dalam kehangatan dan kenyamanan. Kata-kata cinta yang terucap menjadi bisikan lembut, mengiringi malam yang panjang, milik mereka sepenuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NacL: The Lady and Her Secret
Historical Fiction#23 (090617) in Historical Fiction #28 (100617) in Historical Fiction Kisah cinta antara Putri Hwang Sokhwie dan Ketua pasukan Namul, Kim Tae Do. Siapakah yang jatuh lebih dahulu dalam hasrat memiliki seutuhnya!!. Bagaimana kisah cinta antara TaeHwi...