Pulang atau Saya Gendong?

2.1K 261 44
                                    

Jalanan ibu kota yang penuh debu namun tetap hangat bagi Qiya. Sorai-sorai angin menyapa tubuh nya yang dapat dikatakan seimbang. Bariton kendaraan beradu, beberapa emosi meluap tanpa arah yang pasti.

Qiya kembali jalan di trotoar, kali ini tak menggunakan headphone. Matanya menelisik mencari anak kecil yang kemarin ia temui, Surya. Namun sayang hari ini ia pulang lebih lambat sehingga Surya sudah kembali pulang menemui orang tuanya.

"Hujan?" Monolognya

"Lupa bawa payung lagi. Nunggu aja deh, inget kata dr. Raffa kalau keluargaku nunggu aku pulang dalam keadaan selamat" lagi. Wanita itu kembali bermonolog dengan senyum yang terukir, ia keluarkan ponselnya lalu mengabari sang ibu bahwa dirinya akan telat kembali kerumah.

Matanya kembali ia fokuskan pada gemuruh hujan yang datangnya tanpa diundang, yang datangnya tak santai. Tangannya terulur menikmati rintikkan hujan yang jatuh dipenghujung atap tempat dirinya berteduh. Deting klakson berikutnya mengagetkan dirinya yang sedang terpukau pada rintik hujan tersebut.

"Qiya ayo naik!" kaca nya terbuka, menampakkan pria yang beberapa hari merawat dirinya. Mobilnya sudah ia parkirkan condong ke kiri jalan agar tak mengganggu kendaraan lain yang melintas.

"Qiya jangan bengong, hujan! Kamu baru sembuh!" Teriaknya lagi

Qiya terkesikap, pria yang seminggu lagi akan menjadi suaminya itu datang. Kali ini jantungnya berdegup kencang, lagi-lagi pria yang ia pikir tega dan cuek itu memiliki perhatian yang jauh lebih banyak dari pada abangnya, Satya.

"Iya dok" balas Qiya. Kaki jenjangnya mulai melangkah kearah pintu mobil disamping kemudi

"Kan saya sudah bilang tunggu saya pulang!" Suara kemarahan nya terdengar begitu hangat, berbeda dengan pada saat dahulu yang asing dan juga dingin

"Iya dok maaf, saya mau cari Surya tadi" balasnya dengan wajah tertunduk. Bukan tak berani namun wanita itu takut untuk jatuh cinta dengan pria disampingnya karena semakin lama degup jantung didada sebelah kirinya terus membuncah, tak mau mereda.

"Kan bisa tunggu saya dulu!" Terang pria yang duduk disamping Qiya. Qiya memilih tak menjawab dan mengalihkan pandangannya pada jendela samping kirinya, menikmati kota dengan rintik hujan yang membekas dari jendela luar mobil Raffa.

Mobil Raffa terparkir pada depan butik yang menurut Qiya akan sangat mahal.

"Ayo turun!" Perinta Raffa

"Tapi dok..." sanggah Qiya

"Tapi apa?"

"Hem anu dok, bisa ngga kalau Qiya yang nentuin sendiri tempat penyewaan bajunya? Toh dokter dan keluarga sudah menyerahkan uang 300 juta saat lamaran berlangsung" ucapnya hati-hati

"Kenapa ngga bilang dari kemarin?" tanya Raffa dengan intonasi yang cukup tegas

"Saya ngga pernah kepikiran kalau tempatnya sebagus ini dok, pasti mahal" ujar Qiya berterus terang

"Jadi kamu ngga mau kesini karena akan mahal? Ya tuhan Qiya kirain saya kenapa?"

"Tapi dok, boleh ya please!" Pinta Qiya

"Yaudah, mau dimana?" Tanya Raffa

Raffa mengalah dan mengikuti kemauan wanitanya lalu melajukan mobil nya menuju tempat yang Qiya arahkan.

Jauh dari kata estetik, bahkan mobil Raffa terparkir pada sebrang jalan menuju penjahit andalan bagi Qiya sekeluarga.

"Masuk gang sesempit ini?" tanya Raffa tak yakin

Bangsal TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang