Pagi itu, sinar matahari menembus kaca jendela kafe, menciptakan permainan bayangan yang lembut di lantai kayu. Jade berdiri di balik konter, aroma kopi yang pekat melingkupi tubuhnya. Kehidupan di kota kecil ini jarang berubah—semua terasa begitu biasa, tetapi nyaman. Ia menyukai ritme pekerjaannya di kafe ini. Di sini, Jade menemukan kedamaian dari kehidupan yang kadang terasa terlalu sempit, terlalu sunyi.
"Pesan apa kali ini, Pak?" tanya Jade dengan senyum profesionalnya pada pelanggan tetap, Pak Gregory, seorang pensiunan yang selalu datang tepat jam delapan pagi.
"Cappuccino seperti biasa, Jade. Tak ada yang berubah di dunia ini, bukan?" jawab Pak Gregory dengan suara serak tapi hangat. Jade tersenyum, mengangguk, dan segera mempersiapkan pesanan itu.
Namun, hari itu ada yang berbeda. Di sudut kafe, seseorang yang tak dikenal duduk diam, dengan tatapan mata yang lebih dalam dari orang-orang biasanya. Jade melirik pria itu sekilas—penampilannya sederhana, dengan jaket kulit hitam yang agak lusuh dan sepasang jeans biru pudar. Rambutnya sedikit berantakan, tapi entah bagaimana, tampak seolah ia berada di tempat yang benar. Dia tampak… menunggu sesuatu, atau seseorang.
Dia tidak pernah datang ke sini sebelumnya. Jade tahu hampir semua pelanggan, dan wajah pria ini, terlalu asing untuk diabaikan.
Ketika dia mendekati konter, Jade merasakan detak jantungnya sedikit bergetar. Ada sesuatu dalam cara pria itu memandang dunia di sekelilingnya, seolah-olah dia bukan sekadar orang biasa yang datang untuk secangkir kopi.
“Apa yang bisa saya buatkan untuk Anda?” tanyanya, menjaga nada suaranya tetap ramah.
Pria itu mengangkat wajahnya, sejenak terdiam, matanya bertemu dengan milik Jade. “Hm, mungkin secangkir espresso?” jawabnya, suaranya dalam, namun lembut. Ada aksen asing yang samar—sesuatu yang tidak sering didengar Jade di kota kecil ini.
"Espresso, ya?" Jade mengangguk, tangannya bergerak otomatis mengambil cangkir. "Kedengarannya seperti Anda butuh sesuatu yang kuat untuk pagi ini."
Pria itu tersenyum kecil, nyaris tak terlihat. "Kau benar. Hari ini mungkin akan panjang."
Jade merasa ada lapisan di balik kata-katanya yang sederhana itu. Sebuah misteri. Namun, ia tidak berani menanyakannya. "Nama Anda?" tanyanya sambil mencatat di slip pesanan.
Lucas terdiam sejenak. Seolah sedang berpikir, lalu dengan nada santai, dia berkata, "Lukas. Cukup panggil Lukas."
Jade tersenyum, lalu kembali ke mesin espresso, tangannya bekerja dengan luwes. Namun, pikirannya mulai mengembara pada pria ini. Ada sesuatu yang berbeda darinya. Sesuatu yang Jade tidak bisa abaikan, meskipun ia berusaha keras untuk tidak terlalu memperhatikan.
Saat Jade meletakkan cangkir espresso di meja, Lucas menatapnya lagi. "Kamu tampaknya sangat menikmati bekerja di sini," katanya tiba-tiba.
Jade tertawa kecil. "Kurasa bisa dibilang begitu. Kota ini tidak menawarkan banyak pilihan, tapi aku tidak mengeluh. Lagipula, di sini selalu ada orang-orang yang menarik."
"Menarik?" Lucas mengangkat alis, tampak tertarik dengan jawabannya. "Apa aku termasuk dalam kategori itu?"
Jade terkejut dengan langsungnya pertanyaan itu, namun ia tersenyum. "Ya, kamu terlihat seperti orang yang tidak biasa datang ke sini. Apalagi dengan aksen asingmu. Dari mana asalmu?"
Lucas terdiam sejenak. Dia seolah-olah mencari jawaban yang tepat, atau mungkin tidak ingin mengatakan kebenarannya. "Aku dari jauh," jawabnya akhirnya, dengan senyum yang samar.
"Jauh?" Jade menatapnya dengan rasa ingin tahu yang lebih dalam, tapi dia memutuskan untuk tidak mendesak lebih jauh. "Kedengarannya misterius."
"Kadang-kadang sedikit misteri itu perlu," jawab Lucas, kembali dengan senyuman yang tak terbaca. "Tapi kota kecil ini tampaknya memiliki pesonanya sendiri. Apa kau pernah berpikir untuk pergi dari sini?"
Pertanyaan itu membuat Jade terdiam sejenak. Pergi? Meninggalkan kota kecil ini? Tentu, dia pernah berpikir tentang itu, mungkin terlalu sering. Tapi kenyataan selalu menahannya. "Aku tidak yakin," katanya pelan. "Aku punya keluarga di sini. Dan… kadang aku merasa kota ini adalah satu-satunya tempat di mana aku benar-benar merasa berada di rumah."
Lucas mengangguk pelan, seperti mengerti sesuatu yang tak diucapkan. "Rumah bukanlah tempat. Kadang rumah adalah seseorang, atau perasaan."
Jade menatapnya, bingung sekaligus tersentuh oleh kata-kata itu. Siapa pria ini sebenarnya? Bagaimana bisa seseorang yang baru ditemuinya tahu begitu banyak tentang hal-hal yang sulit dijelaskan?
"Mungkin kau benar," gumam Jade, meskipun tidak yakin pada jawabannya sendiri.
Percakapan mereka mengalir dengan tenang, seperti sungai kecil yang tidak terburu-buru. Tidak ada desakan, tidak ada pertanyaan yang terlalu pribadi, hanya dua orang yang menikmati kebersamaan dalam kebisuan yang nyaman. Jade merasa ada ketertarikan yang perlahan tumbuh, meski ia tidak berani mengakuinya.
Setelah beberapa menit berlalu, Lucas berdiri, siap pergi. Dia memasukkan beberapa lembar uang ke dalam toples tip dan menatap Jade sekali lagi. "Terima kasih untuk kopinya. Mungkin kita akan bertemu lagi."
Jade tersenyum kecil. "Mungkin."
Dan dengan langkah ringan, Lucas pergi, meninggalkan aroma misteri di udara, sementara Jade berdiri di belakang konter, merasakan ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Sesuatu yang ia belum bisa pahami. Tetapi yang pasti, pertemuan itu bukanlah kebetulan.
Di luar kafe, Lucas menghela napas panjang, kembali mengenakan kacamata hitamnya. Kota kecil ini, meski jauh dari keramaian, mungkin menyimpan lebih banyak dari yang ia duga. Dan Jade? Dia adalah teka-teki yang Lucas tahu akan ia selesaikan nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Royal Proposal
PoetryJade adalah seorang wanita biasa yang tiba-tiba dilamar oleh Pangeran Lucas dari sebuah kerajaan kecil di Eropa, untuk melindungi takhta dan citra kerajaan. Lucas perlu menikah dengan wanita yang tidak berasal dari keluarga kerajaan untuk meluruskan...