Bab 8: Tekanan dari Media

5 1 1
                                    

Pagi itu, langit di atas Istana Lilaine berwarna kelabu, seolah-olah mencerminkan badai yang sedang berkecamuk di dalam hati Jade. Di luar gerbang istana, para wartawan berkumpul seperti kawanan burung gagak, mata mereka tajam, kamera mereka siap untuk menangkap setiap gerak dan ekspresi yang mungkin bisa dijadikan berita. Jade menyaksikan dari balik jendela kamarnya, dadanya terasa berat oleh kesadaran bahwa hidupnya kini berada di bawah sorotan yang tak pernah ia inginkan.

Televisi di sudut kamar berputar tanpa suara, namun berita yang terpampang di layar sudah cukup untuk membuat Jade merasa semakin kecil di dunia yang semakin besar dan penuh tuntutan. "Siapa Jade?" bunyi salah satu judul besar. "Wanita Tanpa Gelar yang Mengguncang Istana Lilaine." Komentar-komentar pedas dari para pakar kerajaan muncul di layar, membandingkan dirinya dengan sosok-sosok bangsawan lain yang lebih cocok dan lebih layak untuk mendampingi seorang pangeran.

"Dia bukan bangsawan. Tidak ada darah biru dalam dirinya," kata salah satu pembawa acara dengan suara dingin. "Bagaimana mungkin seseorang seperti dia diizinkan masuk ke dalam lingkaran kerajaan?"

Jade mematikan televisi, tetapi rasa cemas sudah terlanjur menyeruak, memenuhi setiap sudut pikirannya. Setiap tatapan kamera, setiap artikel berita, dan setiap komentar publik terasa seperti tusukan jarum yang menusuk pelan, namun terus-menerus. Ia tidak pernah meminta semua ini, namun di sinilah ia sekarang, di tengah badai yang tak pernah ia duga akan datang.

Pintu kamarnya terbuka pelan, dan Lucas masuk, wajahnya tenang, namun ada ketegangan yang sulit disembunyikan di balik matanya. Dia berjalan mendekat, duduk di kursi di hadapan Jade. Sesaat, tidak ada yang berbicara. Hanya ada keheningan yang menggantung di antara mereka, seperti kabut tebal yang sulit ditembus.

"Aku tahu ini berat," suara Lucas akhirnya memecah keheningan. "Aku melihat berita-berita itu."

Jade menundukkan kepalanya, merasa malu meskipun ia tahu itu bukan salahnya. "Mereka benar, Lucas. Aku tidak seharusnya berada di sini. Aku bukan siapa-siapa. Mereka semua... mereka benar."

Lucas mendekatkan tubuhnya sedikit, namun tetap menjaga jarak, tatapannya penuh kesungguhan. "Jade, dengarkan aku. Tidak peduli apa yang mereka katakan, kau ada di sini karena aku memilihmu. Itu tidak akan berubah."

"Aku tahu," bisik Jade, suaranya lemah. "Tapi aku tidak bisa menghentikan mereka. Mereka akan terus membandingkanku dengan orang-orang yang jauh lebih layak. Dan semakin lama, semakin aku merasa mereka benar."

Lucas terdiam sejenak, tatapannya menjelajahi wajah Jade seolah mencari sesuatu—mungkin kekuatan yang ia harap ada di sana. "Ini bukan tentang siapa yang lebih layak, Jade. Ini tentang kita. Tentang apa yang kita buat dari pernikahan ini."

Namun Jade tahu, meskipun Lucas berbicara dengan tenang, ada jarak di antara mereka. Sebuah jarak yang tidak bisa diisi hanya dengan kata-kata. Lucas mungkin ada di sini secara fisik, tapi emosinya masih terasa tertahan, seolah-olah ada sesuatu yang dia simpan, sesuatu yang dia hindari untuk diungkapkan. Jade bisa merasakannya, meskipun dia tidak berani menyuarakannya.

"Aku ingin membantu," lanjut Lucas, suaranya lebih lembut. "Media akan terus mencoba menjatuhkanmu, terutama di awal ini. Tapi ada cara untuk menghadapi mereka. Kau hanya perlu lebih tenang dan lebih pintar dalam menangani situasi seperti ini."

Jade menatapnya, sedikit bingung. "Apa yang harus kulakukan? Aku bahkan tidak tahu bagaimana menghadapi semua ini."

Lucas menghela napas, lalu bersandar di kursi. "Kita akan mulai dari dasar. Pertama, jangan pernah merespons secara langsung. Media akan mencoba memancingmu untuk memberikan reaksi—baik melalui kamera atau wawancara. Tapi semakin sedikit kau berbicara, semakin sedikit bahan yang mereka miliki untuk diolah. Setiap senyum, setiap gerakan, akan diartikan berbeda-beda oleh mereka. Jadi, jaga ekspresi. Tunjukkan sikap tenang, bahkan ketika mereka menyerang."

"Tenang," ulang Jade, merasa kata itu terlalu jauh dari apa yang sebenarnya ia rasakan.

Lucas mengangguk. "Ya. Dan jangan pernah menunjukkan kelemahan di depan mereka. Itu yang mereka tunggu. Jika kau terlihat lemah, mereka akan terus mendesak, dan itu bisa membahayakan kita berdua."

Jade mengangguk, meskipun di dalam hatinya, ia masih ragu apakah ia bisa melakukannya. Dunia media adalah dunia yang begitu asing baginya—begitu kejam dan penuh penilaian. Ia hanyalah seorang wanita biasa dari kota kecil. Bagaimana mungkin ia bisa bertahan di tengah sorotan seperti ini?

Lucas seolah bisa membaca pikirannya. "Jade, aku tahu ini tidak mudah. Tapi kau tidak sendirian. Aku di sini. Dan jika kau butuh bantuan, aku akan membimbingmu. Kita bisa melewati ini bersama."

Namun meskipun Lucas mengatakan itu, Jade bisa merasakan sesuatu yang tertahan di antara mereka. Seolah ada dinding yang tidak terlihat namun begitu nyata, memisahkan hati mereka. Lucas berbicara dengan logika, memberikan instruksi yang penuh akal, namun tidak ada kehangatan atau rasa kasih yang bisa menenangkan ketakutan Jade. Dan itu membuat jarak di antara mereka semakin terasa.

Jade menundukkan kepala, memainkan ujung gaunnya, mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. "Lucas, aku... aku takut."

Lucas menatapnya, wajahnya tetap tenang, namun ada sedikit perubahan di matanya—mungkin rasa empati yang sulit ia tunjukkan. "Aku tahu. Tapi kau akan baik-baik saja, Jade. Kau lebih kuat dari yang kau pikir."

Kata-kata itu terdengar meyakinkan, tapi Jade merasakan kesepiannya semakin dalam. Bukan karena Lucas tidak mendukungnya, tapi karena ia merasakan jarak emosional yang terus bertahan di antara mereka. Lucas adalah seorang pangeran yang terlatih menghadapi dunia, tetapi Jade merasa masih tersesat di dalamnya.

Malam itu, saat Jade menutup tirai kamarnya, menatap gelapnya malam yang penuh bayang-bayang di luar, ia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Media akan terus memburu, dan ia harus belajar menjadi sesuatu yang bukan dirinya—kuat di luar, meski rapuh di dalam. Tapi pertanyaan yang paling besar di hatinya adalah, apakah ia bisa bertahan tanpa kehilangan dirinya di tengah semua ini?

The Royal ProposalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang