Pagi itu, langit di atas Istana Lilaine tampak kelabu, seolah mencerminkan perasaan gelisah yang menggantung di hati Jade. Suara langkah kaki para pelayan yang sibuk terdengar lirih di lorong-lorong, tetapi Jade merasa terisolasi dari segala rutinitas istana. Ia duduk di tepi ranjang, tangannya gemetar halus saat ia membaca berita di layar ponselnya.
"Wanita Biasa di Singgasana? Jade Tidak Layak Mendampingi Pangeran Lucas."
Judul-judul itu menusuk perasaannya, setiap kata seolah menghujani dirinya dengan kritik yang tak terhindarkan. Media kembali menyerang, menciptakan badai yang semakin besar. Foto-fotonya tersebar di mana-mana—wajahnya dihiasi dengan komentar-komentar sinis tentang asal-usulnya, tentang bagaimana ia dianggap tidak pantas berada di istana. Mereka membandingkannya dengan wanita-wanita bangsawan, menilai penampilannya, menyoroti setiap langkah yang ia ambil dengan tatapan tajam dan penuh cemooh.
Jade merasakan sesak di dadanya. Meskipun ia sudah terbiasa dengan sorotan media sejak menikahi Lucas, kali ini serangan itu terasa lebih kejam, lebih pribadi. Seolah-olah seluruh dunia mempertanyakan keberadaannya di samping Lucas, dan ia tidak tahu bagaimana harus menghadapinya lagi.
Pintu kamar terbuka dengan pelan, dan Lucas masuk, wajahnya tampak serius namun tenang. Ia tahu apa yang terjadi. Berita itu sudah sampai padanya bahkan sebelum Jade membacanya. Dalam diam, ia berjalan mendekat, duduk di sebelah Jade, dan tanpa sepatah kata pun, ia mengambil ponsel dari tangannya, melihat sekilas layar yang penuh dengan artikel-artikel menyakitkan itu.
“Lucas, aku…” suara Jade tersendat, air mata mulai menggenang di sudut matanya. “Aku tidak tahu apakah aku bisa terus seperti ini. Mereka… mereka bilang aku tidak pantas. Dan aku mulai merasa bahwa mungkin mereka benar.”
Lucas menghela napas panjang, matanya memandang jauh ke depan, seolah mencari cara untuk meredakan ketegangan di antara mereka. Kemudian ia menoleh, menatap Jade dengan pandangan yang dalam dan penuh makna. “Mereka salah, Jade. Kau pantas berada di sini. Lebih dari siapa pun.”
Jade menatapnya dengan kebingungan. "Tapi bagaimana aku bisa percaya itu, Lucas? Ketika setiap hari, mereka membuatku merasa seperti aku hanyalah penghalang. Mereka terus mengatakan bahwa aku tidak layak untukmu.”
Lucas mendekatkan tangannya ke wajah Jade, menghapus air mata yang mulai jatuh dengan ibu jarinya. “Kau layak, Jade. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk media, meragukan itu lagi.”
Ada kekuatan dalam suara Lucas yang belum pernah Jade dengar sebelumnya. Sebuah ketegasan yang tidak hanya datang dari rasa tanggung jawab, tetapi juga dari sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang mulai menunjukkan bentuknya.
Lucas bangkit dari tempat duduk, wajahnya kini serius namun penuh tekad. "Aku akan berbicara kepada media. Ini sudah cukup. Mereka harus tahu bahwa kau adalah pilihanku, dan tidak ada satu pun dari mereka yang berhak meragukanmu."
Jade menatapnya, terkejut oleh tekad yang begitu kuat dalam nada suaranya. “Lucas, kau tidak perlu melakukannya. Aku bisa bertahan… Aku sudah terbiasa dengan ini.”
Namun, Lucas menggeleng pelan. “Ini bukan hanya tentang bertahan, Jade. Ini tentang membela apa yang kita punya. Aku lelah melihat mereka terus merendahkanmu. Kau bukan alat politik, bukan penutup dari masa laluku. Kau adalah istriku. Dan aku akan pastikan mereka tahu itu.”
Sebelum Jade bisa membalas, Lucas sudah berjalan keluar, meninggalkan ruangan dengan langkah yang tegas dan penuh keputusan. Ada sesuatu dalam dirinya yang berubah—sebuah kekuatan baru yang membuat Jade merasa seolah-olah Lucas tidak lagi hanya menjaga jarak, tetapi kini benar-benar ada di sisinya.
***
Lucas berdiri di depan ruangan penuh wartawan, sorotan kamera dan kilatan blitz menyerbu setiap sudut tempat itu. Suasana tegang, semua mata tertuju padanya, menunggu setiap kata yang akan keluar dari bibirnya. Tidak ada pengawal atau penasihat yang mendampinginya kali ini. Lucas memutuskan untuk berbicara sendiri—tanpa filter, tanpa agenda politik.
“Saya di sini,” Lucas memulai, suaranya mantap namun penuh emosi, “untuk menghentikan segala spekulasi yang menyebar tentang istri saya, Jade.”
Ruangan itu seketika hening, para wartawan bersiap mendengar setiap kata yang akan keluar. Mata Lucas menyapu wajah-wajah di depannya, tanpa sedikit pun ragu.
“Kalian mungkin berpikir bahwa pernikahan ini hanyalah formalitas, bahwa Jade tidak pantas mendampingi saya karena dia bukan dari keluarga bangsawan. Tapi saya ingin kalian semua tahu satu hal: Jade adalah pilihan saya. Dia adalah wanita yang saya pilih untuk mendampingi hidup saya. Dan saya tidak akan membiarkan siapa pun merendahkannya atau mempertanyakan tempatnya di sini.”
Kilatan blitz kembali menyambar, namun Lucas tidak goyah. “Dia bukan sekadar istri pangeran. Dia adalah seorang wanita yang kuat, berani, dan pantas mendapatkan lebih dari sekadar kritik tidak adil dari media. Jika ada yang meragukan itu, maka mereka meragukan keputusan saya.”
Di balik kata-kata Lucas yang penuh keberanian itu, ada kejujuran yang menggetarkan hati Jade. Berdiri di dekat jendela, mendengarkan dari layar kecil di kamarnya, Jade merasakan air mata mengalir lagi—namun kali ini bukan karena kesedihan, melainkan karena rasa haru yang mendalam. Lucas akhirnya berbicara untuknya. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa sendiri dalam menghadapi serangan ini.
Lucas melanjutkan, suaranya semakin kuat. “Pernikahan ini bukan tentang politik atau strategi. Ini adalah tentang komitmen kami, tentang keputusan yang kami buat bersama. Dan saya tidak akan membiarkan siapa pun mengubah fakta itu. Jadi, hentikan spekulasi, dan hargailah Jade sebagaimana dia seharusnya dihargai.”
Dengan itu, Lucas menutup pernyataannya, meninggalkan ruangan penuh wartawan yang terdiam, terpana oleh ketegasan seorang pangeran yang tidak hanya membela istrinya, tetapi juga menunjukkan kepada dunia siapa dia sebenarnya.
***
Malam itu, Lucas kembali ke kamar, dan Jade masih duduk di tepi tempat tidurnya, menunggu dengan hati yang berdebar. Saat Lucas masuk, mata mereka bertemu, dan Jade tahu bahwa ada sesuatu yang telah berubah di antara mereka.
“Terima kasih,” bisik Jade, suaranya lembut namun penuh rasa syukur. “Aku tidak pernah menyangka kau akan melakukannya.”
Lucas mendekat, duduk di sebelahnya, matanya lembut namun penuh ketegasan. “Aku akan selalu membelamu, Jade. Aku seharusnya melakukannya sejak awal.”
Jade menatapnya, dan meskipun ada rasa haru yang dalam, masih ada ketidakpastian di dalam hatinya. Mereka telah melewati begitu banyak, tapi hubungan mereka masih diselimuti oleh keraguan yang belum sepenuhnya hilang.
Namun malam itu, saat mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, Jade tahu bahwa ini adalah langkah awal. Langkah pertama menuju sesuatu yang lebih nyata. Sesuatu yang lebih dari sekadar kewajiban atau formalitas.
Sesuatu yang mungkin… adalah cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Royal Proposal
PoetryJade adalah seorang wanita biasa yang tiba-tiba dilamar oleh Pangeran Lucas dari sebuah kerajaan kecil di Eropa, untuk melindungi takhta dan citra kerajaan. Lucas perlu menikah dengan wanita yang tidak berasal dari keluarga kerajaan untuk meluruskan...