Bab 13: Momen Pribadi Pertama

1 1 0
                                    

Cahaya matahari sore menembus tirai lembut yang menggantung di kamar mereka, menciptakan bayangan samar di lantai marmer. Udara di dalam istana terasa hangat, namun Jade merasakan kekosongan yang menyelimuti ruangan itu. Diam-diam, ia duduk di sofa dekat jendela besar, jari-jarinya menyentuh permukaan buku yang terbuka, meski pikirannya jauh dari halaman yang ia tatap.

Sementara di seberang ruangan, Lucas berdiri di depan meja kayu mahoni, tatapannya tertuju pada selembar surat resmi yang baru saja ia buka. Wajahnya tampak tegang, seolah-olah kata-kata di kertas itu telah menambah beban yang sudah lama dipikulnya. Setiap tarikan napasnya terdengar berat, namun ia tetap berusaha menjaga ketenangannya yang selama ini menjadi tamengnya.

Hening yang melingkupi mereka semakin terasa pekat, hampir menyesakkan. Jade akhirnya mengangkat pandangannya, memandangi punggung Lucas yang tegap namun tampak lelah, seolah ada sesuatu yang ingin dia katakan, tapi tertahan oleh dinding yang selama ini mereka bangun di antara mereka.

"Lucas," panggil Jade pelan, namun suaranya menggema lembut di ruangan itu, memecah keheningan yang terasa begitu jauh.

Lucas menoleh, pandangannya masih diselimuti ketegangan, tapi kali ini ada kehangatan samar di balik sorot matanya, meskipun hal itu tersamar oleh kekhawatiran yang tidak ia ungkapkan. "Ada apa?" tanyanya, suaranya dalam namun lembut.

Jade menarik napas, lalu memberanikan diri untuk berbicara. "Aku ingin tahu bagaimana perasaanmu. Tentang semua ini—tentang kita. Tentang tekanan yang kau hadapi setiap hari."

Lucas terdiam sejenak, seolah-olah sedang mempertimbangkan apakah ia harus membuka diri atau tetap terkurung dalam tembok emosionalnya. Namun, setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia melangkah mendekat dan duduk di sofa di seberangnya, memandang Jade dengan lebih lembut, meski masih ada jarak yang nyata di antara mereka.

"Aku tahu kau sudah melihatnya," ujar Lucas akhirnya, suaranya lebih rendah dari biasanya. "Tekanan, tuntutan, politik. Semua ini tidak pernah berakhir. Dan meskipun aku lahir untuk menjalani semua ini, kadang aku merasa lelah. Sangat lelah."

Jade menatapnya, melihat kilasan kejujuran di balik kata-katanya. Ini adalah pertama kalinya Lucas benar-benar berbicara tentang apa yang ia rasakan, tentang beban yang selama ini ia tanggung seorang diri. "Aku bisa merasakannya," bisik Jade. "Kau tampak seperti seseorang yang selalu menjaga semuanya tetap terkendali, tapi aku tahu itu pasti berat."

Lucas tersenyum tipis, senyuman yang penuh kelelahan namun juga kejujuran. "Kau benar. Tidak ada yang mudah di sini. Setiap langkah yang kuambil, setiap keputusan yang kubuat, selalu diawasi. Setiap kata-kataku bisa dipelintir menjadi sesuatu yang lain. Kadang rasanya seperti… seperti aku bukan manusia lagi, hanya sosok yang harus memenuhi harapan orang lain."

Jade merasakan hatinya tersentuh oleh kejujuran yang baru saja terungkap. Mungkin, di balik segala formalitas dan jarak yang mereka bangun, ada rasa yang bisa mereka bagikan. "Itu pasti berat, Lucas. Aku tak bisa membayangkan harus hidup dengan beban sebesar itu."

Lucas mengangguk, tatapannya kembali melayang ke jendela, menatap langit yang mulai berubah warna. "Ini bukan soal beban saja. Ini tentang identitas. Kadang aku bertanya pada diriku sendiri, siapa aku sebenarnya? Apakah aku hanya seorang pangeran, atau apakah ada sesuatu yang lebih dari itu? Tapi aku tidak punya pilihan. Semua sudah ditentukan sejak lahir."

Jade merasakan kesedihan halus dalam suaranya, dan ia tahu bahwa Lucas berbicara dari lubuk hatinya yang terdalam. Meskipun pernikahan mereka hanyalah kesepakatan politik, ada momen-momen seperti ini yang membuat Jade merasakan sisi manusiawi Lucas—sisi yang ia tahu jarang sekali terlihat oleh orang lain.

"Kadang," ujar Jade pelan, "aku merasa seperti orang asing di sini. Aku tahu aku bukan bagian dari dunia ini, dan meskipun aku berusaha menyesuaikan diri, aku tetap merasa terasing. Aku merasa seperti aku kehilangan diriku sendiri, mencoba menjadi seseorang yang diharapkan oleh orang-orang di istana."

Lucas menatap Jade, dan untuk pertama kalinya, ada kelembutan yang nyata di balik tatapannya. "Aku mengerti perasaan itu," katanya, suaranya lebih hangat sekarang. "Aku sering merasa seperti itu juga. Terjebak dalam peran yang harus kumainkan, meskipun aku tahu ada bagian dari diriku yang hilang dalam prosesnya."

Jade menahan napas, merasakan ada ikatan yang mulai terbentuk di antara mereka—meskipun hanya sementara, itu adalah sesuatu yang nyata. "Mungkin," Jade melanjutkan, "kita bisa melewati ini bersama. Aku tahu pernikahan ini bukan tentang cinta, tapi setidaknya kita bisa mendukung satu sama lain."

Lucas menatapnya dalam-dalam, seolah sedang mempertimbangkan kata-kata itu. Akhirnya, ia mengangguk pelan. "Kau benar. Kita bisa saling mendukung. Meskipun ini bukan pernikahan yang biasa, kita tidak harus melakukannya sendirian."

Ada keheningan yang menggantung di antara mereka, tapi kali ini bukan keheningan yang canggung. Ini adalah keheningan yang nyaman, yang penuh dengan pemahaman. Untuk pertama kalinya sejak mereka menikah, Jade merasa sedikit lebih dekat dengan Lucas, meskipun jarak itu masih ada. Mereka berdua masih hidup dalam dunia yang berbeda, namun di momen itu, mereka berbagi beban yang sama.

Lucas bangkit perlahan, berjalan ke arah jendela dengan tangan diselipkan di saku celananya. "Aku tidak tahu bagaimana semuanya akan berakhir," ujarnya, suaranya kembali rendah, seperti berbicara kepada dirinya sendiri. "Tapi aku tahu satu hal. Kita harus bertahan, Jade. Untuk kita berdua."

Jade tersenyum kecil, meski hatinya masih dipenuhi keraguan. "Kita akan bertahan," jawabnya pelan. "Entah bagaimana caranya, kita akan melakukannya."

Lucas menoleh, memberikan senyum tipis yang hampir tidak terlihat, namun Jade tahu bahwa di balik wajah tegas dan penuh beban itu, ada seseorang yang berusaha keras untuk menemukan tempatnya di dunia ini—sama seperti dirinya.

Malam itu, ketika mereka berdua tenggelam dalam keheningan masing-masing, Jade merasa bahwa meskipun hubungan mereka masih jauh dari sempurna, setidaknya mereka telah menemukan momen kebersamaan, sebuah percikan kecil dari rasa kemanusiaan di tengah dunia yang penuh dengan politik dan formalitas. Dan itu, bagi Jade, sudah cukup untuk sekarang.

The Royal ProposalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang