Bab 6: Tiba di Istana

4 0 1
                                    

Angin dingin menyusuri jalan-jalan berbatu, membawa aroma lembut pinus dan embun pagi. Di hadapan Jade, berdiri megah Istana Lilaine—sebuah mahakarya arsitektur yang tampak seolah-olah tercipta dari mimpi-mimpi kuno yang terwujud dalam batu dan kaca. Menara-menara tinggi berbalut tanaman hijau merambat, sementara jendela-jendela besar memantulkan kilau matahari yang baru saja terbit. Istana itu berdiri anggun, namun terasa jauh, seperti dunia yang terpisah dari kenyataan hidupnya yang sederhana.

Mobil yang mengantarnya berhenti tepat di gerbang besar istana. Jade melangkah keluar, merasakan pemandangan ini perlahan-lahan menelan dirinya—istana yang begitu besar, begitu menakjubkan, dan begitu asing. Tangannya gemetar sedikit saat ia menyentuh gaun krem lembut yang dikenakannya, seolah-olah ingin memastikan dirinya tetap berpijak di bumi, meskipun jiwanya melayang antara ketakjuban dan kecemasan.

Lucas berdiri di sisi pintu gerbang, menunggunya dengan senyum kecil yang menenangkan. "Selamat datang di rumahku, Jade," ucapnya pelan, suaranya terdengar tenang namun penuh makna.

Jade mengangguk, mencoba membalas senyumnya, meski di dalam hatinya ada badai kecil yang bergolak. "Ini... sangat indah," kata Jade, suaranya nyaris berbisik. "Seperti dunia lain."

Lucas mendekatinya, menyentuh lengan Jade dengan lembut. "Ya, ini dunia lain. Tapi mulai sekarang, ini juga akan menjadi duniamu."

Kata-kata itu menimbulkan getaran di dalam dada Jade. Dunia ini mungkin akan menjadi miliknya, namun ia belum merasa sepenuhnya cocok berada di dalamnya. Kemewahan ini, segala keindahan ini, terasa seperti cermin yang memantulkan bayangan dirinya yang tak sepenuhnya utuh.

Lucas menuntunnya masuk ke dalam istana, di mana aula besar menyambut mereka dengan dinding-dinding marmer berukir dan langit-langit tinggi yang tampak tak berujung. Karya seni tergantung di sepanjang koridor, seolah setiap langkah mereka diiringi oleh kisah masa lalu para leluhur kerajaan. Suara langkah kaki Jade terasa bergema, membuatnya semakin sadar akan kehadirannya di tempat ini—seorang wanita biasa yang kini terlibat dalam sesuatu yang jauh di luar jangkauan hidupnya yang sebelumnya.

Mereka tiba di sebuah ruangan luas dengan cahaya matahari yang masuk melalui jendela kaca patri, membentuk bayangan indah di lantai marmer. Di tengah ruangan, berdiri sekelompok orang yang tampaknya sudah menunggu. Jade bisa merasakan tatapan mereka bahkan sebelum ia benar-benar melihat wajah-wajah itu—tatapan yang tajam, penuh penilaian, seolah-olah setiap langkahnya diukur dan dinilai.

Lucas memegang tangan Jade sebentar, memberinya isyarat dengan senyum tipis, sebelum memperkenalkannya. "Ini Jade, calon istriku," katanya, suaranya terdengar mantap, penuh keyakinan.

Ratu Amelia, ibu Lucas, berdiri paling depan, mengenakan gaun kerajaan yang sempurna—seolah-olah ia adalah perwujudan dari kemegahan dan kekuasaan itu sendiri. Tatapan matanya seolah menembus Jade, dingin dan penuh penilaian.

“Jade,” kata Ratu Amelia dengan nada formal yang lembut namun kaku. "Selamat datang di Istana Lilaine." Kalimat itu terdengar seperti formalitas yang tak terhindarkan, tidak ada kehangatan di dalamnya. Senyumnya tipis, nyaris tidak terlihat, dan kehadirannya seperti kabut pagi yang dingin dan lembap.

"Terima kasih, Yang Mulia," jawab Jade dengan suara rendah, mencoba menjaga ketenangannya. Namun ia bisa merasakan udara di sekitarnya semakin menipis, seolah-olah keberadaannya di sana adalah sesuatu yang tak diinginkan.

Lucas melanjutkan, memperkenalkan Jade kepada saudara perempuannya, Putri Eleanor, yang menatap Jade dengan campuran rasa ingin tahu dan ejekan halus di matanya. “Senang bertemu denganmu,” kata Eleanor, senyum tipis di bibirnya seolah menggantung, seperti menunggu kesempatan untuk jatuh menjadi sinis. “Kau berbeda dari yang biasanya kami lihat di sini.”

Jade merasakan pipinya memanas, menyadari bahwa itu adalah cara halus Eleanor untuk menunjukkan bahwa dirinya bukan bagian dari kalangan mereka. Namun, ia hanya tersenyum tipis, menahan keinginan untuk menjawab. Tidak ada gunanya melawan dengan kata-kata. Tidak di tempat seperti ini.

"Jade memang berbeda," Lucas menimpali dengan nada datar namun penuh arti, seolah-olah ia tahu apa yang sedang dipikirkan adiknya. "Dan itulah yang membuatnya spesial."

Jade menoleh ke Lucas, merasakan sekilas rasa terima kasih yang aneh tumbuh di dadanya. Meski pernikahan ini hanyalah kesepakatan, ada momen kecil di mana ia merasakan perlindungan dari Lucas—sebuah pengakuan bahwa ia memang berada di sini, dan bahwa ia diterima.

Namun, kenyataan tak bisa disangkal. Jade tahu bahwa hidup di istana ini akan penuh tantangan. Ia bukan bagian dari dunia mereka. Segala hal di sekitar istana, dari aturan rumit hingga etiket yang harus diikuti dengan sempurna, membuat dadanya sesak. Tiap langkah, tiap gerakannya terasa salah, seolah-olah ia selalu berada di bawah sorotan yang tak terelakkan.

Setelah perkenalan yang formal dan dingin itu, mereka diundang duduk di ruang tamu kerajaan, tempat teh disajikan di atas nampan perak yang mengilap. Jade merasakan pandangan Ratu Amelia dan Eleanor terus menempel padanya, seperti jarum-jarum halus yang menusuk perlahan. Namun, ia menegakkan punggungnya, menahan napas, berusaha menjaga ketenangan.

Ratu Amelia berbicara dengan nada yang lembut, tetapi ada kekuatan tersembunyi di balik setiap kata-katanya. "Jade, hidup di istana memiliki tanggung jawab besar. Bukan hanya terhadap keluarga, tetapi juga terhadap seluruh kerajaan. Kau harus memahami bahwa peranmu di sini bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan."

Jade menelan ludah, merasa seolah-olah kata-kata itu adalah peringatan halus. "Saya mengerti, Yang Mulia," jawabnya dengan kepala tertunduk sedikit. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa tugas ini akan lebih berat dari yang pernah ia bayangkan. Ini bukan hanya tentang menikahi Lucas. Ini tentang menjadi bagian dari sebuah dunia yang tidak pernah ia kenal sebelumnya.

Setelah pertemuan itu, ketika Jade dan Lucas akhirnya bisa berjalan keluar menuju balkon, angin segar menyambut mereka, membawa aroma mawar dari taman istana yang indah. Jade menghela napas panjang, merasa sedikit lebih ringan meskipun tantangan besar telah menanti di hadapannya.

Lucas menoleh ke arah Jade, suaranya lebih lembut daripada sebelumnya. "Aku tahu ini sulit, Jade. Tapi aku berjanji, aku akan membantumu melewati ini. Kau tidak sendiri."

Jade menatapnya, merasakan sedikit ketenangan di tengah badai yang baru saja dimulai. “Terima kasih, Lucas,” jawabnya pelan, meski dalam hatinya masih ada bayangan keraguan. Dunia ini memang indah, tapi juga penuh dengan aturan yang tak kasatmata—aturan yang bisa menghancurkan siapa pun yang tidak siap.

The Royal ProposalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang