Langit sore di Istana Lilaine tampak berwarna lembayung, semburat merah dan oranye membalut menara-menara tinggi dengan cahaya yang hampir mistis. Di balik semua keindahan yang memukau, Jade duduk di balkon kamarnya, memeluk lututnya dengan pandangan kosong menatap taman istana yang luas dan tenang. Angin sore berhembus lembut, namun bagi Jade, udara terasa berat, seperti membawa beban yang tak bisa ia lepaskan.
Hari-hari di istana berlalu dengan hening. Kesibukan yang tak terlihat namun selalu ada, orang-orang berlalu lalang dalam keheningan yang teratur. Namun bagi Jade, istana ini adalah labirin sepi, di mana ia tersesat tanpa arah. Tak ada tawa, tak ada kehangatan, hanya tatapan dingin dan sorot mata penuh penilaian yang menghujani setiap langkahnya.
Di dalam istana, Jade berusaha beradaptasi. Setiap gerakannya, setiap kalimat yang ia ucapkan, terasa salah. Ia belajar tentang etika kerajaan—bagaimana melangkah dengan anggun, bagaimana memegang gelas dengan tepat, bagaimana membungkuk dengan sudut yang benar. Namun, semua itu terasa asing, jauh dari dirinya yang sebenarnya. Setiap hari, ia berusaha menghafal aturan-aturan kecil yang tak pernah ia bayangkan ada, namun justru dalam kesempurnaan yang dicari itu, Jade semakin sering membuat kesalahan kecil yang memalukan.
Pagi itu, saat Jade menghadiri jamuan teh bersama para bangsawan, ia secara tak sengaja menumpahkan teh ke serbetnya—kesalahan yang tampak sepele namun cukup untuk memancing tatapan heran dari para tamu. Ratu Amelia, yang duduk di ujung meja, tidak menegurnya, namun keheningan yang tercipta seketika setelah kejadian itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Senyum tipis di bibir Putri Eleanor tak luput dari perhatian Jade, senyum yang tampak puas melihat dirinya tersandung oleh hal-hal kecil yang tampaknya begitu sederhana.
"Teh bukan sesuatu yang mudah disajikan, bukan?" ujar Eleanor dengan nada yang tampak ramah, namun tajam di balik kelembutannya.
Jade mencoba tersenyum, meski dadanya terasa sesak. "Saya masih belajar," jawabnya singkat, menahan rasa malu yang menjalar di sekujur tubuhnya. Di dalam, Jade merasa semakin kecil, semakin terasing dari lingkungan yang menuntut kesempurnaan tanpa cela ini.
Setelah jamuan selesai, Jade berjalan melewati koridor panjang istana, derap langkahnya terdengar lirih di atas marmer yang dingin. Ia merasa seolah tak ada tempat di dunia ini di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri. Setiap sudut istana terasa memenjarakannya, memperlihatkan batas-batas tak terlihat yang memisahkan dirinya dengan orang-orang di sekitarnya.
Di sepanjang perjalanan, ia melewati beberapa pelayan yang segera menundukkan kepala saat mereka berpapasan, namun tak satu pun dari mereka berani menatapnya dengan mata penuh rasa hormat atau bahkan sedikit kehangatan. Jade tahu bahwa di mata mereka, ia bukanlah seorang bangsawan—hanya orang luar yang mencoba mengisi peran yang bukan miliknya.
Di malam hari, di kamar besarnya yang terasa semakin luas dan dingin, Jade duduk di depan cermin, memandang bayangan dirinya sendiri. Seorang wanita yang tampak begitu berbeda dari dirinya yang dulu—dirinya yang sederhana, bebas dari aturan-aturan kaku, dan tidak terbebani oleh sorotan dunia.
Pintu kamar itu terbuka perlahan, dan Lucas masuk, mengenakan setelan formal yang biasa ia pakai saat bertugas. Jade menoleh, berharap ada percakapan yang bisa mengisi kehampaan yang melingkupi ruangan itu, namun Lucas tetap menjaga jaraknya seperti biasa. Di wajahnya, tidak ada tanda-tanda hangat atau simpati, hanya ketenangan profesional yang seakan mengingatkan Jade bahwa pernikahan ini hanyalah formalitas belaka.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya singkat, meski suaranya terdengar lebih seperti kewajiban daripada perhatian yang tulus.
Jade menatapnya dari cermin, dan ia merasa seolah berbicara dengan bayangan, bukan dengan seseorang yang benar-benar ada di sana. "Aku baik," jawabnya pendek, meski di dalam hatinya, ia merasa jauh dari itu.
Lucas mengangguk kecil, kemudian melangkah menuju meja di sudut kamar, memeriksa beberapa dokumen yang tergeletak di sana. Jade ingin mengatakan sesuatu, ingin merasakan bahwa ada seseorang yang benar-benar mengerti apa yang ia rasakan. Namun, Lucas tetap terbungkus dalam dinding emosional yang tak bisa ia tembus. Setiap percakapan di antara mereka selalu singkat, formal, tanpa kedalaman.
“Aku melihat media semakin intens,” ujar Lucas sambil tetap menatap dokumennya. “Mereka masih menunggu momenmu goyah.”
Jade menghela napas pelan. "Aku tahu. Dan mereka mungkin akan mendapatkannya lebih cepat dari yang mereka pikirkan."
Lucas menatapnya sesaat, tapi kemudian kembali fokus pada pekerjaannya. “Kau harus belajar menghadapi ini. Kita sudah sepakat. Kau tahu bagaimana aturan mainnya.”
Aturan main. Kata-kata itu menggelitik hati Jade, membuatnya semakin sadar akan kenyataan bahwa inilah hidupnya sekarang—permainan pernikahan politik yang penuh strategi dan taktik. Tidak ada cinta, tidak ada kebebasan, hanya kewajiban untuk tampil sempurna dan menjalani peran yang ditetapkan.
“Aku merasa terisolasi di sini, Lucas,” kata Jade, suaranya nyaris seperti bisikan.
Lucas berhenti sejenak, namun tidak menoleh. “Aku tahu ini berat, Jade. Tapi kau bukan satu-satunya yang berada dalam situasi sulit. Kita berdua punya tanggung jawab masing-masing.”
Jade merasakan gelombang frustrasi menghantam dadanya. “Ini bukan tentang tanggung jawab, Lucas. Ini tentang hidupku, tentang siapa aku. Di sini, aku tidak pernah merasa… menjadi diriku sendiri.”
Lucas akhirnya berbalik, menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. “Kita tahu dari awal ini bukan pernikahan yang biasa. Ini kesepakatan. Kau tahu itu. Aku tahu itu.”
Kata-kata itu terasa seperti batu yang jatuh ke dalam air tenang, menciptakan riak-riak kecil yang menghancurkan harapan-harapan halus yang mungkin pernah Jade simpan di sudut hatinya. Ia tahu dari awal, namun mendengar Lucas mengatakannya lagi—dengan begitu dingin dan pasti—membuatnya sadar bahwa kesepian ini bukan hanya akibat dari istana yang dingin. Kesepian ini berasal dari jarak yang tak pernah bisa ia jembatani dengan pria yang seharusnya menjadi suaminya.
Lucas menatapnya sejenak, lalu menghela napas sebelum berbalik dan berjalan keluar. Ketika pintu tertutup, Jade menyadari bahwa yang tersisa hanyalah dirinya sendiri—seorang wanita yang berdiri di tengah dunia yang tak pernah benar-benar menyambutnya.
Dan dalam heningnya malam, Jade merasa semakin tenggelam dalam kesepian istana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Royal Proposal
PoesíaJade adalah seorang wanita biasa yang tiba-tiba dilamar oleh Pangeran Lucas dari sebuah kerajaan kecil di Eropa, untuk melindungi takhta dan citra kerajaan. Lucas perlu menikah dengan wanita yang tidak berasal dari keluarga kerajaan untuk meluruskan...