Bab 17: Tamasya Rahasia

1 1 0
                                    

Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah-celah tirai tipis, membangunkan Jade dari tidur yang tenang. Udara di Istana Lilaine terasa segar, namun hari ini ada sesuatu yang berbeda. Di meja di samping tempat tidurnya, Jade menemukan sebuah catatan kecil. Tulisan tangan Lucas, rapi dan sederhana, terlihat di atas kertas krem.

“Temui aku di taman belakang. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu.”

Jade tersenyum tipis, rasa penasaran menggelitik hatinya. Panggilan dari Lucas yang tanpa formalitas ini terasa seperti angin segar setelah semua ketegangan yang mereka alami. Ia segera bersiap, mengenakan gaun sederhana berwarna lembut, lalu melangkah keluar, mengikuti jalur batu menuju taman belakang istana.

Lucas menunggunya di bawah pohon besar yang menjulang, ditemani oleh angin pagi yang mengalir pelan. Ia tampak lebih santai dari biasanya, mengenakan jaket kulit hitam dan celana panjang kasual, jauh dari penampilannya yang biasa—formal dan terikat oleh peran sebagai pangeran. Wajahnya dihiasi senyuman kecil, dan saat Jade mendekat, ada cahaya baru di matanya yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

“Lucas, ada apa ini?” tanya Jade dengan rasa ingin tahu yang bercampur kebingungan.

Lucas menyelipkan tangannya ke saku, mengangguk ke arah gerbang taman yang terbuka. “Aku berpikir, mungkin kita butuh sedikit waktu di luar. Jauh dari istana. Jauh dari semua tekanan.”

“Tanpa pengawalan? Tanpa rencana?” tanya Jade dengan heran.

Lucas tersenyum, kali ini lebih lebar. “Benar. Hanya kita berdua. Aku sudah siapkan mobil di luar. Tidak ada pengawalan, tidak ada media. Hanya kita.”

Jade merasakan degupan halus di dadanya. Gagasan itu—pergi secara diam-diam, tanpa pengawasan dan pengawalan—terasa seperti sesuatu yang hampir mustahil bagi seorang pangeran. Tapi kali ini, Jade melihat sisi Lucas yang berbeda, sisi yang ingin melarikan diri dari segala beban yang selama ini menghantui mereka.

“Baiklah,” jawab Jade akhirnya, dengan senyum yang mulai tumbuh di wajahnya. “Ayo pergi.”

***

Mereka meninggalkan istana dalam diam, melewati jalan-jalan kecil menuju kota terdekat. Kota kecil itu, tersembunyi di antara perbukitan yang hijau, tampak tenang dan damai, jauh dari hiruk pikuk istana yang penuh tekanan. Tidak ada yang mengenali mereka di sini. Bagi penduduk setempat, mereka hanyalah pasangan biasa yang ingin menikmati hari di bawah langit yang cerah.

Lucas memarkir mobil di dekat alun-alun kota yang dikelilingi oleh bangunan tua dengan arsitektur klasik, sementara suara gemericik air mancur kecil mengiringi suasana. Mereka berjalan berdampingan, melewati kios-kios bunga dan toko-toko kecil yang berjajar di sepanjang jalan. Untuk pertama kalinya, tidak ada tatapan penasaran, tidak ada kamera, dan tidak ada tekanan untuk tampil sempurna.

“Bagaimana kau tahu tentang tempat ini?” tanya Jade, melihat Lucas yang tampak sangat mengenal jalan-jalan sempit di kota ini.

Lucas menoleh padanya, senyumnya kembali menghiasi wajahnya. “Aku dulu sering datang ke sini saat aku ingin kabur sejenak dari istana. Tempat ini adalah satu-satunya tempat di mana aku bisa merasa seperti orang biasa, setidaknya untuk beberapa saat.”

Jade memandangi sekeliling mereka, melihat penduduk yang berjalan dengan santai, kehidupan yang sederhana dan bebas dari sorotan. Ia bisa mengerti mengapa Lucas memilih tempat ini sebagai pelarian. Ada ketenangan yang hampir tidak bisa ditemukan di dunia mereka yang penuh dengan tuntutan.

Mereka berhenti di sebuah kedai kopi kecil yang terletak di sudut alun-alun. Kedai itu, dengan jendela besar yang dipenuhi tanaman merambat, tampak seperti tempat dari mimpi, penuh kehangatan dan kesederhanaan. Lucas memesan dua cangkir kopi, lalu mereka duduk di meja dekat jendela, memandangi orang-orang yang lalu-lalang di luar.

“Kau terlihat lebih santai di sini,” ujar Jade sambil mengaduk kopinya, memperhatikan Lucas yang duduk di depannya. Ada sesuatu dalam cara Lucas memandang sekeliling—lebih santai, lebih bebas.

Lucas tertawa pelan, suara yang jarang Jade dengar dari pangeran yang biasanya serius itu. “Mungkin karena di sini, aku bukan seorang pangeran. Di sini, aku hanya Lucas. Tidak ada yang peduli tentang reputasi atau politik. Hanya aku… dan kau.”

Jade tersenyum, merasa kehangatan menyelimuti hatinya. “Aku suka melihatmu seperti ini. Seperti dirimu yang sebenarnya.”

Lucas menatapnya sejenak, lalu menyesap kopinya. “Aku juga suka seperti ini, Jade. Denganmu, semuanya terasa lebih mudah. Aku bisa bernapas tanpa merasa tercekik oleh tanggung jawab yang terus menghantuiku.”

Ada keheningan singkat, namun kali ini, keheningan itu terasa manis. Jade mulai melihat Lucas dalam cahaya yang baru—lebih manusiawi, lebih rapuh, dan lebih nyata daripada yang pernah ia bayangkan. Selama ini, Lucas adalah pangeran yang selalu menjaga jarak, tetapi di sini, di kota kecil ini, ia hanyalah pria yang ingin merasakan kebebasan sejenak.

“Kau tahu,” Lucas melanjutkan, suaranya lebih lembut, “aku tidak pernah punya kesempatan untuk benar-benar menikmati hidupku sendiri. Selalu ada ekspektasi. Tapi hari ini, di sini, aku merasa seperti akhirnya bisa melepaskan semua itu.”

Jade menatapnya, merasakan simpati yang tulus mengalir di hatinya. “Kau berhak merasakan kebebasan, Lucas. Kau berhak hidup bukan hanya untuk orang lain, tapi untuk dirimu sendiri.”

Lucas menatap Jade, dan dalam tatapan itu, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar formalitas pernikahan. Ada rasa nyaman yang baru mulai tumbuh, sesuatu yang tak terucap namun jelas terasa. Ia mengulurkan tangannya ke arah Jade, dan Jade meraihnya, merasakan kehangatan yang tulus di antara mereka.

Mereka menghabiskan sisa hari itu berjalan di sekitar kota, tertawa, berbicara tanpa beban. Tidak ada tekanan, tidak ada tuntutan. Hanya dua orang yang mulai menemukan kenyamanan dalam kebersamaan mereka. Saat matahari perlahan tenggelam di balik bukit, Jade menyadari bahwa hari ini, ia melihat Lucas yang sebenarnya—pria yang penuh perhatian, yang menikmati hal-hal kecil, dan yang, untuk pertama kalinya, mulai terbuka padanya.

Dan di tengah malam yang mulai jatuh, Jade menyadari bahwa mungkin, di balik segala kerumitan politik dan skandal, ada sesuatu yang lebih dalam di antara mereka. Sesuatu yang bisa tumbuh, jika mereka memberinya waktu.

The Royal ProposalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang