Janji

9 10 1
                                    

Abian baru saja pulang dari acara pernikahannya dengan Aletta, wanita yang dipilihkan ibunya. Hati kecilnya berontak, karena ia tahu, ini bukan cinta yang ia inginkan. Namun, ia juga tidak memberi tahu Anita, istrinya yang sah, tentang pernikahan ini. Ia terlalu pengecut untuk menghadapinya, terlalu takut pada reaksi Anita.

Ketika sampai di rumah, pintu depan sudah sedikit terbuka. Abian merasakan firasat buruk di dadanya, tapi ia mencoba mengabaikannya.

Saat masuk, keheningan yang menyambutnya terasa mencekam, dan lampu ruang tamu masih menyala redup.

Abian terhenti ketika matanya menangkap sosok yang terbaring di lantai-Anita, dengan tubuh penuh darah, tangan masih menggenggam gunting yang tertancap di perutnya. Darah segar mengalir, membentuk genangan di bawah tubuhnya yang lemah.
"Anita?! Apa yang kamu lakukan?!" teriak Abian, tubuhnya gemetar.
Abian terjatuh ke lututnya di samping Anita. Wajah istrinya pucat, napasnya terengah-engah, dan matanya berkaca-kaca dengan kemarahan dan rasa sakit yang tak terucapkan.
"Kamu... menikah lagi, Abian..." jawab Anita, suaranya serak, hampir tak terdengar. Abian membeku. Dia tak pernah membayangkan Anita tahu, apalagi dengan cara seperti ini. Tangannya mencoba menghentikan darah yang terus mengalir, tapi gunting yang tertancap terlalu dalam. Napas Anita semakin melemah, dan saat itu Abian menyadari bahwa waktunya hampir habis.

Abian merasakan dunia sekitarnya berputar.

“Anita, jangan tinggalkan aku! Tolong!” serunya, suaranya penuh kepanikan.

Anita hanya bisa tersenyum lemah, meski wajahnya dipenuhi rasa sakit. “Kamu pergi... tanpa mengingatku, kan?”

“Tidak! Aku akan selalu mengingatmu!” Abian meraih tangan Anita, mencoba memberikan kekuatan, tapi tangannya terasa semakin dingin.

“Anita, berjuanglah! Kita bisa melalui ini bersama!” harap Abian, air matanya mengalir deras.

“Kau sudah memilih jalurmu, Abian...” Anita menjawab dengan suara yang semakin melemah, “Satu pilihan, satu akhir...”

Abian merasa hatinya terjepit. Dia baru menyadari bahwa dia telah mengkhianati cinta sejatinya.

“Maafkan aku, Anita... maafkan aku...” Abian mengucapkan kata-kata itu berkali-kali, berharap bisa mengubah segalanya.

Sebelum Abian bisa berkata lebih banyak, napas Anita terhenti. Dia menggelengkan kepalanya, seolah mencari jawaban yang tak pernah datang.

Abian terdiam, membeku di tempatnya. Ketika dia menyadari bahwa Anita telah pergi selamanya, hatinya hancur. Rasa bersalah dan penyesalan membanjiri dirinya. Ia merasakan dunia di sekitarnya runtuh.

“Tidak... tidak... tidak...” Abian merintih, menatap wajah Anita yang kini tak lagi bernyawa. “Aku tidak bisa hidup tanpa kamu...”

Suasana di sekelilingnya menjadi sunyi, hanya suara detak jantung Abian yang memenuhi telinganya. Dalam kepedihan yang mendalam, ia teringat kembali pada pernikahannya yang dijodohkan ibunya, bagaimana dia berpura-pura bahagia di depan orang-orang, sementara di dalam dirinya, rasa bersalah terus menggerogoti.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti seabad, Abian berdiri, mengusap air mata dari wajahnya, bertekad untuk mencari tahu mengapa hal ini bisa terjadi.

“Anita... aku tidak akan membiarkan semua ini sia-sia,” ujarnya pelan, bertekad untuk mencari keadilan bagi cinta mereka.

Saat itulah, sebuah bisikan lembut terdengar di telinganya, seperti suara angin yang berdesir.

Abian...”

Abian menoleh, terkejut, tetapi tidak ada siapa-siapa di sekitarnya. Hanya kesunyian dan bayangan masa lalu yang menghantuinya.

Abian...” suara itu terdengar lagi, lebih jelas kali ini, seolah datang dari kedalaman jiwanya. Abian merasakan bulu kuduknya berdiri.

“A-Anita?” Abian berusaha meyakinkan dirinya, tapi kebenaran yang menyakitkan membuatnya ragu. Ia menatap ruang tamu yang kini terasa dingin, seolah ada sesuatu yang hilang.

Bantu aku...” bisikan itu semakin mendesak, seolah memanggilnya untuk berbuat sesuatu.

Abian merasa hatinya tertekan. “Apa yang harus aku lakukan? Kamu sudah pergi...” Dia mengusap wajahnya, mengabaikan rasa sakit yang menjalar di dalam dirinya.

Tolong, selesaikan apa yang belum selesai... aku tidak bisa pergi dengan tenang,” suara Anita menggema di pikirannya.

Sekali lagi, Abian teringat tentang pernikahannya dengan Aletta, dan bagaimana dia mengabaikan Anita, seolah semua rasa sakit itu tidak ada artinya.

“Bukan aku yang memilih ini... tapi, aku harus memperbaiki semuanya,” Abian berbisik, matanya berbinar dengan tekad baru.

Abian mengangguk pada dirinya sendiri, memutuskan untuk mengungkap semua kebohongan dan ketidakadilan yang telah menyelimutinya.

“Jika kamu masih bersamaku, aku akan melakukan apapun untuk membuatmu tenang, Anita,” janjinya.

Dia mengambil napas dalam-dalam dan keluar dari rumah, bersiap untuk menghadapi kenyataan yang mengerikan. Abian tahu, langkah pertama adalah menemui Aletta dan berbicara tentang semua ini, meskipun itu berarti membuka luka yang lebih dalam.


Whispers (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang