Kehancuran

10 9 0
                                    

Abian melangkah cepat meninggalkan apartemen, surat dan foto Andrian masih tergenggam di tangannya. Semakin jauh dia berjalan, semakin jelas suara-suara di kepalanya. Bisikan Anita kini terasa lebih sering, lebih kuat, dan tidak lagi sekadar memberi petunjuk. Ada kemarahan yang ia rasakan di sana—rasa sakit yang seolah berusaha menenggelamkannya.

"Kamu pikir bisa lari dari semua ini, Abian? Kamu tidak bisa..."

Langkah Abian terhenti di trotoar, tubuhnya kaku seakan ada yang menahan gerakannya. Bisikan Anita kini terdengar tajam, hampir seperti ancaman. "Apa... apa yang kamu inginkan?" gumam Abian, merasakan ketegangan di dadanya.

Namun suara itu tidak menjawab. Hanya tawa kecil, dingin dan menyakitkan, yang terdengar menggaung di kepalanya.

"Semua yang kamu lakukan... semua yang terjadi padaku... akan kembali padamu. Aku akan menghancurkanmu seperti kamu menghancurkan aku..." suara Anita berbisik, kali ini dengan nada yang menusuk, penuh dendam.

Abian mulai panik, kepalanya terasa berat, seperti ada tekanan dari segala arah. "Aku menyesal... aku menyesal, Anita!" Abian berteriak, mencoba melawan rasa bersalah yang semakin mencekiknya.

Namun, suara Anita tidak mereda. Malah semakin kuat. "Penyesalanmu tidak ada artinya sekarang. Kamu akan kehilangan segalanya, Abian, seperti aku kehilangan segalanya..."

Abian jatuh berlutut di trotoar, napasnya tersengal-sengal. Ia mulai menyadari sesuatu—Anita bukan hanya mencoba memberinya petunjuk. Anita ingin membalas dendam. Dia tidak akan berhenti sampai Abian merasakan penderitaan yang sama seperti yang dirasakannya. Semua bisikan itu, semua petunjuk, hanya bagian dari rencana untuk menghancurkannya dari dalam.

Abian bangkit dengan tubuh gemetar. Dia tahu dia harus cepat menemukan Andrian, tapi sekarang ada hal lain yang menghantuinya. Anita tidak akan berhenti. Dan semakin lama, bisikan-bisikan itu akan semakin kuat, semakin menghancurkan kewarasannya.

"Aku tidak bisa kalah," gumam Abian, matanya mulai dipenuhi rasa putus asa. "Aku harus menemukan dalangnya... sebelum semuanya benar-benar hancur."

Namun, dalam pikirannya, suara tawa Anita terus terngiang-ngiang, memberi tahu bahwa waktu Abian hampir habis.

Malam semakin larut, dan Abian tak lagi bisa mengabaikan bisikan Anita. Setiap langkah yang diambilnya kini terasa semakin berat. Seolah-olah ada beban yang tak terlihat yang terus menariknya ke bawah. Rasa bersalah dan ketakutan bercampur menjadi satu, membelenggu pikirannya.

Dia tahu harus menemukan Andrian, tapi di sisi lain, dia takut semakin terlambat untuk menghentikan apa yang sudah dimulai. Setiap kali ia mencoba fokus, suara Anita semakin kuat.

"Kamu akan kehilangan segalanya, Abian. Sama seperti aku."

Tawa dingin itu kembali terdengar, mengoyak pikirannya. Abian meraih kepalanya, berusaha menyingkirkan suara itu, namun sia-sia. Anita ada di mana-mana—di pikirannya, di hatinya, di setiap bayangan yang ia lihat.

Tak lama kemudian, Abian menemukan alamat Andrian dari sebuah kontak lama yang masih tersimpan di ponselnya. Andrian tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, jauh dari keramaian. Abian berharap jawaban ada di sana—bahwa Andrian bisa memberi penjelasan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Anita.

Namun, begitu Abian tiba di depan rumah Andrian, perasaan tidak enak mulai merayapi tubuhnya. Ada sesuatu yang aneh. Rumah itu tampak terlalu tenang, seolah-olah waktu berhenti di sana.

Dia mengetuk pintu. Tidak ada jawaban.

"Apakah kamu benar-benar berpikir bisa menemukan jawabannya, Abian? Semuanya sudah hancur..." bisikan Anita kembali terdengar, kali ini lebih tajam dan menggema.

Abian mencoba mengabaikannya. Dengan tangannya yang bergetar, dia memutar gagang pintu dan mendapati pintu itu tidak terkunci. Perlahan, dia mendorongnya terbuka dan masuk ke dalam. Ruangan di dalamnya gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang masuk melalui jendela.

Tiba-tiba, ada suara langkah kaki di belakangnya. Abian berbalik dengan cepat, dan di sana, berdiri Andrian. Wajahnya pucat, matanya tajam menatap Abian. "Kamu akhirnya datang," suara Andrian terdengar datar, hampir tanpa emosi.

Abian tidak langsung bicara. Dia merasakan ada sesuatu yang salah, tapi dia menahan diri untuk tidak bereaksi terlalu cepat. "Apa yang sebenarnya terjadi pada Anita? Apa yang kamu sembunyikan?"

Andrian terdiam sejenak, kemudian tersenyum tipis. "Kamu terlambat, Abian. Semua sudah berjalan sesuai rencana."

Jantung Abian berdebar kencang. "Apa maksudmu? Apa yang kamu lakukan pada Anita?"

Andrian mendekat, suaranya rendah namun penuh ancaman. "Aku tidak melakukan apa-apa. Anita membuat pilihan. Dia tahu risiko yang akan dihadapi. Kamu... kamu hanya bagian dari permainan ini."

Abian mundur selangkah, kebingungan. "Permainan? Tentang apa ini?"

"Dia tahu lebih dari yang kamu kira, Abian..." bisikan Anita semakin keras, seolah menyuruh Abian untuk bertindak cepat.

"Aku tidak mengerti," Abian berkata dengan suara gemetar. "Apa yang kamu inginkan, Andrian?"

Andrian tertawa pelan, lalu menjawab dengan tenang. "Ini bukan tentang aku, Abian. Ini tentang bagaimana semuanya berakhir. Dan sekarang, giliranmu merasakan apa yang Anita rasakan."

Tiba-tiba, tubuh Abian merasa berat, kepalanya terasa pusing. Suara Anita kini terdengar semakin kuat di dalam pikirannya, berteriak-teriak, memintanya membalas dendam. Namun kali ini, suara itu semakin jelas menggiringnya ke dalam kehancuran.

Whispers (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang