Salahku

10 9 0
                                    

Abian berdiri di depan makam Aletta, diam tak bersuara. Angin sore menyapu wajahnya, namun tak ada kesejukan yang bisa meredakan luka di hatinya. Selama ini, dia berpikir bahwa rasa sakit yang ia rasakan karena kehilangan Anita sudah mencapai puncaknya. Namun, kematian Aletta membawa perih yang berbeda—perasaan kehilangan yang tak bisa ia pahami.

"Semua ini salahku," gumam Abian pelan, suaranya terdengar hampa. "Aku yang seharusnya melindungimu, tapi justru aku yang menghancurkanmu."

Dia teringat saat pertama kali bertemu dengan Aletta—saat dia penuh dengan niat untuk membalas dendam. Namun, seiring berjalannya waktu, niat itu memudar. Perasaan yang dulu ia kira kebencian, berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang membuat hatinya terperangkap di antara dua dunia—penyesalan dan cinta yang tidak pernah ia ungkapkan.

"Aletta," bisiknya, menatap batu nisan di depannya, "mengapa kamu harus pergi begitu cepat?"

Kedua tangannya mengepal erat, menahan rasa frustasi yang merayapi tubuhnya. Dendam yang dulu dia janjikan untuk Anita, kini terasa sia-sia. Dia gagal dalam segala hal—gagal menjaga Anita, dan gagal melindungi Aletta.

"Apa yang harus kulakukan sekarang?" Abian berbicara pada dirinya sendiri. "Apa yang tersisa dariku jika aku tak bisa menepati satu pun janjiku?"

Saat itu, dia tahu, tidak ada yang bisa memperbaiki hidupnya yang telah hancur. Tidak ada yang bisa menghapus rasa bersalah yang menghantuinya setiap malam. Dan kini, hanya kesepian yang tersisa.

Malam itu, Abian kembali ke rumah yang kini terasa lebih sunyi dari biasanya. Setiap sudut rumah seolah berbicara tentang Aletta—tentang tawa kecilnya, tentang caranya menatap dengan tatapan penuh tanya, tentang kehangatan yang tanpa disadari telah mengisi ruang kosong di hatinya. Namun kini, semua itu hanya bayangan. Hampa.

Abian duduk di ruang tamu, memandangi segelas wine yang ada di tangannya. Biasanya, ia akan meminumnya untuk mengusir sejenak pikiran-pikiran berat. Tapi kali ini, alkohol tak mampu memberi ketenangan. Dia hanya menatapnya kosong.

"Dulu, aku selalu berpikir cinta hanyalah kelemahan," gumam Abian, memecah kesunyian. "Tapi justru karena cinta, aku kehilangan segalanya."

Tiba-tiba, bayangan wajah Anita muncul di benaknya. Wajah itu, yang penuh dengan harapan dan cinta, namun juga dipenuhi rasa sakit yang ia sebabkan. Abian menyesal, tapi penyesalan tak mengembalikan apa pun. Dia sudah terlambat untuk menyelamatkan Anita.

Seketika, air matanya jatuh tanpa peringatan. Dia teringat senyuman Aletta, wanita yang awalnya ia kira hanya alat untuk membalaskan dendam. Namun, semakin lama, dia semakin melihat betapa tulusnya cinta Aletta untuknya, meski Aletta tak pernah benar-benar mengatakannya.

"Aku telah menghancurkanmu... seperti aku menghancurkan Anita," suara Abian bergetar. "Aku tidak layak dicintai."

Tangannya gemetar saat menaruh gelas wine di atas meja. Tidak ada lagi pelarian. Semua yang ia lakukan selama ini, baik itu dengan Anita maupun Aletta, hanya berujung pada kehancuran. Rasa bersalah yang menumpuk membuat dadanya sesak.

Saat itulah, Abian menyadari sesuatu. Selama ini, ia berusaha menutupi kelemahannya dengan kekerasan dan kebencian. Namun, pada akhirnya, cinta yang ia anggap sebagai kelemahan adalah hal yang paling kuat—hal yang mampu menghancurkan dan sekaligus menyelamatkan. Tapi untuk Abian, cinta hanya datang di saat yang salah. Terlalu terlambat untuk diperbaiki.

"Apakah aku akan terus hidup seperti ini? Terperangkap dalam kesalahan yang ku buat?" bisiknya dalam hati, tak yakin apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Tapi satu hal pasti, hidupnya tak akan pernah sama lagi tanpa Aletta.

Whispers (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang