Hidup baru

8 10 0
                                    

Setelah pemakaman Anita, Abian merasa hancur saat pulang ke rumah. Suasana di rumah terasa sepi dan mencekam. Dia ingin menghadapi Aletta, tetapi perasaannya campur aduk—antara penyesalan, rasa bersalah, dan beban yang tidak tertahankan.

Ketika dia masuk, Aletta sudah menunggu dengan ekspresi khawatir. “Abian, kamu ke mana saja? Kenapa kamu tidak pulang malam itu? Ini malam pertama kita, dan kamu tiba-tiba pergi begitu saja,” tanyanya, suaranya lembut tetapi ada nada cemas.

Abian menunduk, merasa bersalah. “Aku... ada urusan mendesak,” jawabnya dengan suara pelan, berusaha menjaga wajahnya tetap tenang.

“Urusan apa yang lebih penting dari pernikahan kita?” Aletta bertanya, tampak bingung dan terluka. “Aku merasa seperti tidak ada di dalam hidupmu.”

Abian menggerakkan lidahnya, tidak tahu harus berkata apa. Rasa bersalahnya semakin membebani pikirannya. “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu merasa seperti itu,” ujarnya, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang ada di dalam hatinya.

“Tapi malam itu sangat penting, Abian. Seharusnya kita merayakannya bersama. Bukankah kita sudah berjanji?” Aletta melanjutkan, matanya mulai berkaca-kaca.

Dia merasa terjepit antara kewajiban untuk memberikan penjelasan dan rasa sakit yang mendalam akibat kehilangan Anita. “Aku tahu... aku tahu,” jawabnya, berusaha untuk tidak menunjukkan emosi yang berkecamuk di dalam hatinya.

“Jika kamu terus menghindar, aku akan merasa semakin jauh darimu,” Aletta menambahkan, suaranya kini bergetar.

“Tidak, itu bukan maksudku,” Abian berkata, berusaha mendekatinya. “Aku hanya butuh waktu untuk mencerna semuanya.”

Aletta menatapnya, seolah mencari kebenaran di dalam kata-katanya. “Tapi aku ingin kamu ada di sini, Abian. Aku tidak ingin kamu membawa beban sendirian.”

Dia tahu bahwa Aletta tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di hatinya, bahwa dia baru saja kehilangan cinta sejatinya. “Aku akan berusaha lebih baik, Aletta,” janji Abian, meskipun hatinya terasa terbelah antara dua dunia.

“Tapi kamu harus jujur padaku,” Aletta meminta, suaranya penuh harapan.

Abian mengangguk, meskipun hatinya berjuang antara niat untuk mencintai Aletta dan bayang-bayang Anita yang terus mengikutinya.

Beberapa minggu berlalu, dan meskipun Abian berusaha menutupi semua rasa sakit dan beban emosionalnya, hal itu tidak mudah. Suatu hari, saat mereka sedang berbelanja di pusat perbelanjaan, Abian tak sengaja melihat seorang wanita yang mirip dengan Anita. Hatinya berdesir, dan kenangan indah bersamanya kembali menyeruak.

Aletta yang berdiri di sampingnya, menyadari perubahan ekspresi Abian. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya, mengernyitkan dahi.

Abian cepat-cepat mengalihkan pandangan. “Iya, aku baik-baik saja,” jawabnya, berusaha menyembunyikan perasaannya. Namun, Aletta bisa merasakan ketegangan di udara.

“Kenapa kamu terlihat seperti melihat hantu?” Aletta bertanya, suaranya tegas tetapi lembut. “Apa ada yang ingin kamu ceritakan padaku?”

Mendengar pertanyaan itu, Abian merasakan beban di hatinya semakin berat. Dia tahu bahwa dia tidak bisa terus bersembunyi. “Sebenarnya, ada sesuatu yang perlu kamu tahu,” katanya, suaranya hampir bergetar.

Aletta menatapnya dengan serius, “Apa itu, Abian?”

Setelah terdiam sejenak, Abian menghela napas. “Sebelum kita menikah, aku... aku sudah menikah sebelumnya. Istriku, Anita, meninggal beberapa waktu lalu,” ungkapnya dengan suara pelan.

Aletta terkejut, tidak menyangka bahwa Abian menyimpan rahasia sebesar itu. “Oh...,” dia terdiam, bingung. “Kenapa kamu tidak memberitahuku dari awal?”

“Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya,” Abian menjawab, merasa bersalah. “Aku takut jika aku membicarakannya, itu akan mengganggu hubungan kita.”

“Jadi, kamu menyembunyikannya dariku?” Aletta bertanya, suaranya mulai bergetar. “Kapan kamu berencana memberitahuku?”

Abian menunduk, merasakan beratnya rasa bersalah di dalam hatinya. “Maaf, aku benar-benar tidak ingin kamu merasa terbebani. Aku sedang berjuang dengan perasaanku sendiri.”

“Berjuang dengan perasaan?” Aletta kembali bertanya, suaranya kini terisi emosi. “Apakah kamu masih mencintainya?”

“Tidak, bukan seperti itu,” Abian berkata cepat, berusaha meyakinkan. “Tapi kehilangan Anita... itu sangat berat bagiku. Aku tidak ingin hal itu mengganggu hidup kita.”

Aletta menghela napas, merasakan beban yang ada di antara mereka. “Jadi, kamu sudah menikah sebelumnya dan tidak pernah memberitahuku. Kenapa aku tidak bisa merasakan kejujuran itu dari kamu?” Dia menggelengkan kepala, tampak sakit hati.

“Maafkan aku, Aletta,” Abian berkata dengan tulus. “Aku berjanji, aku akan lebih terbuka mulai sekarang. Aku tidak ingin kita terjebak dalam ketidakpastian ini.”

Aletta menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Aku butuh kejujuran, Abian. Jika kita ingin membangun masa depan bersama, kita harus melakukannya dengan penuh kepercayaan.”

Dia merasa semakin jauh dari Abian, dan perasaannya yang semula penuh harapan kini tergantikan dengan keraguan. “Aku hanya ingin kamu jujur padaku. Itu saja,” ucapnya, berusaha menahan air matanya.

Abian mengangguk, merasakan rasa sakit yang mendalam. Dia tahu bahwa dia harus melakukan yang terbaik untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. “Aku akan berusaha, Aletta. Aku akan berjuang untuk kita.”

Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa bayang-bayang Anita akan selalu menjadi bagian dari perjalanannya. Dan untuk bisa mencintai Aletta sepenuhnya, ia harus belajar melepaskan masa lalu.

Whispers (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang