Asher pov
Aku berdiri di depan jendela, menatap langit malam yang gelap tanpa bintang. Dingin di luar terasa menusuk meskipun aku berada di dalam ruangan. Pikiranku kacau, seakan ribuan skenario terburuk berputar di dalam kepalaku. Sementara di belakangku, Tyler dan Luke duduk berdiskusi, wajah mereka serius dan cemas.
“Jadi... kita harus ngelakuin ini cepat,” Luke akhirnya memecah keheningan. Suaranya rendah tapi tegas, nada yang sama sekali berbeda dari biasanya. “Callum bisa curiga kapan aja. Gue udah kasih dia info palsu tentang lo, Ash. Gue bilang lo lagi nginap di rumah teman di luar kota, jadi kita punya sedikit waktu.”
Tyler, yang duduk di tepi kasur, menatap Luke dengan ekspresi tak yakin. “Lo yakin dia percaya? Callum itu... dia bukan orang yang gampang dibohongin, Luke. Lu bilang dia nanya soal Asher tiap hari, kan?”
Luke mengangguk, wajahnya suram. “Iya, dia udah mulai curiga. Itu kenapa kita harus gerak sekarang.” Tatapannya beralih padaku, mata cokelatnya menelisik wajahku, seolah mencari keyakinan. “Ash, lo siap?”
Aku menatapnya, merasakan berat dari pertanyaan itu. Apakah aku benar-benar siap? Meninggalkan semua ini, kabur dari Callum yang masih punya cengkeraman kuat atas hidupku? Tapi aku tak punya pilihan lain. Jika aku tetap di sini, dia akan menemukan aku. Dia akan tahu soal kehamilan ini, dan aku... aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan.
“Gue gak punya pilihan lain,” jawabku akhirnya, suaraku terdengar lebih lemah daripada yang kuharapkan. “Gue harus pergi, sebelum dia tahu.”
Luke mengangguk, ekspresi serius di wajahnya semakin kuat. Dia menarik napas dalam-dalam, seolah merasakan berat tanggung jawab yang tiba-tiba jatuh di pundaknya. “Oke. Gue udah atur biar lo bisa kabur lewat jalur aman. Temen gue punya koneksi di terminal, dia bisa bantu lo naik bus tanpa banyak tanya.”
Tyler memutar-mutar ponsel di tangannya, wajahnya mengerut penuh pertimbangan. “Tapi gimana kalau Callum tahu lebih cepat dari yang kita kira? Gue... gue masih gak yakin ini bakal berjalan mulus.”
“Makanya, kita kasih dia informasi yang bikin dia sibuk,” jawab Luke dengan cepat. “Gue udah bilang dia kalau Asher bakal di luar kota beberapa hari, jadi fokus dia pasti bakal di situ. Kita harus manfaatin kesempatan ini.”
Aku menggigit bibir, hati-hati mendengarkan rencana mereka. Meski terasa seperti satu-satunya jalan keluar, aku masih merasa takut. Apa yang akan terjadi kalau Callum menemukan aku lebih cepat dari yang kita rencanakan? Apa yang akan dia lakukan kalau tahu aku hamil anaknya?
“Gue harus pergi sekarang, kan?” tanyaku pelan, lebih kepada diriku sendiri daripada mereka.
Tyler berdiri, menepuk bahuku dengan lembut. “Iya, Ash. Makin cepat makin baik. Kita gak bisa ngambil risiko. Gue bakal bantu lo siap-siap.”
Aku mengangguk pelan, mencoba mengumpulkan sisa-sisa keberanianku. Tyler membantu aku mengemasi beberapa pakaian ke dalam ransel kecil. Setiap detik terasa semakin berat, seperti ada sesuatu yang semakin mendekat—bayangan Callum yang mungkin sudah merasakan ketidakhadiranku.
Sementara aku merapikan barang-barang, Luke menerima panggilan telepon. Suaranya rendah dan terdengar samar dari ruangan sebelah. Aku tidak mendengar jelas apa yang dia bicarakan, tapi ada kegelisahan di nada suaranya yang membuatku semakin tegang. Setelah beberapa menit, Luke kembali dengan wajah yang lebih serius.
“Kita harus gerak sekarang,” katanya sambil meraih jaket di kursi. “Temen gue bilang ada beberapa orang yang mencurigakan di sekitar sini. Gue gak tahu apakah mereka dari Callum atau bukan, tapi gue gak mau ambil risiko.”
Dadaku semakin sesak. Bayangan Callum semakin nyata, seolah dia bisa muncul kapan saja dan merusak segalanya. Aku mengambil napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi sulit. Bahkan udara terasa berat untuk dihirup.
Tyler menatapku, matanya menunjukkan empati yang jarang kulihat. “Ash, kita harus pergi sekarang. Jangan khawatir. Gue dan Luke bakal jaga lo.”
Kami keluar dari kosan dengan langkah cepat. Jalanan malam terasa sunyi, hanya suara angin yang sesekali terdengar, membuat suasana semakin mencekam. Tyler memandu aku ke arah mobil yang diparkir di ujung gang, sementara Luke memeriksa jalan di sekitar kami, waspada terhadap setiap gerakan.
Setelah masuk ke mobil, suasana di dalam terasa hening dan tegang. Hanya suara mesin yang berderu, mengiringi detak jantungku yang berpacu. Tyler duduk di belakang kemudi, sementara Luke di kursi penumpang depan. Aku duduk di belakang, tanganku mencengkeram ransel kecilku dengan erat.
“Ash, begitu kita sampai terminal, lo naik bus ke arah selatan. Ini jalan keluar terbaik sementara kita bikin Callum sibuk,” Luke memberi instruksi tanpa menoleh. “Gue dan Tyler bakal terus ngecoh Callum, jadi lo bisa aman pergi.”
Aku mengangguk, meskipun perasaan was-was masih menggantung di dada. “Lo yakin ini bakal berhasil?”
“Tenang aja, Ash. Ini mungkin rencana yang berisiko, tapi lo gak sendirian. Kita udah siap ngelindungin lo.” Tyler mencoba meyakinkan, tapi aku tahu dia juga merasakan ketegangan yang sama.
Kami melaju dalam diam. Setiap detik terasa seperti ketukan jam yang semakin mendekati akhir. Aku tidak bisa mengusir bayangan Callum dari pikiranku, tatapan tajamnya ketika dia tahu bahwa aku akan pergi. Atau, mungkin lebih buruk, ketika dia menyadari bahwa aku mengandung anaknya dan mencoba melarikan diri.
Aku mengelus perutku, perasaan campur aduk antara ketakutan dan rasa bersalah. Meskipun sekarang aku merasa ketergantungan pada Callum—pheromon-nya yang membuat kehadirannya selalu terasa menenangkan—aku tahu aku tidak bisa terus berada dalam cengkeramannya. Dia pernah mengurungku, dan tidak peduli betapa dia mencoba melindungi aku, aku tidak bisa hidup dalam batasan yang dia buat.
Luke tiba-tiba berbalik, menatapku dari kursi depan. “Ash, kita hampir sampai. Ini kesempatan terakhir lo buat berubah pikiran.”
Aku menelan ludah, merasakan getaran halus dari mesin mobil di bawahku. Ada godaan yang kuat untuk menyerah—untuk kembali ke Callum, untuk membiarkan semuanya berjalan seperti biasa. Tapi aku tahu, jika aku melakukannya, aku tidak akan pernah bebas. Anak ini, masa depanku, aku harus bertanggung jawab untuk itu. Tidak hanya untuk aku, tapi juga untuk kehidupan kecil yang tumbuh di dalam diriku.
“Gue... gue siap,” kataku, meski suaraku terdengar lebih seperti bisikan. Aku menatap keluar jendela, melihat tanda-tanda terminal mendekat. Ini nyata. Kami benar-benar akan melakukannya.
Tyler menghentikan mobil di sebuah tempat yang tersembunyi di dekat terminal. “Oke, Ash. Ini waktunya,” katanya sambil mematikan mesin. Luke sudah keluar duluan, mengawasi sekitar dengan hati-hati. Tyler berbalik dan menatapku, tatapannya lembut namun serius. “Gue bakal selalu ada di belakang lo, ngerti? Kapanpun lo butuh bantuan, gue sama Luke bakal ada.”
Aku mengangguk pelan, rasa syukur membuncah di dadaku, meskipun ketakutan masih melingkupi pikiran. Aku membuka pintu, udara malam yang dingin langsung menerpa wajahku, mengingatkan aku bahwa ini nyata—aku benar-benar akan meninggalkan Callum.
Langkah-langkahku terasa berat saat aku berjalan menuju terminal. Di belakangku, Tyler dan Luke tetap berjaga, matanya tak pernah lepas dari sekitarnya. Mereka sudah melindungiku sejauh ini, tapi aku tahu setelah ini, aku harus sendirian.
Saat kami sampai di pintu masuk, Luke menatapku dengan ekspresi serius. “Bus lo ada di platform lima. Naik sekarang, jangan lihat ke belakang.” Dia menyerahkan tiket padaku. “Jangan khawatir soal Callum. Dia gak bakal bisa nemuin lo kalau lo ikuti rencana ini.”
Aku menggenggam tiket itu dengan erat, mengangguk pelan. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku berjalan menuju platform yang ditunjuk. Setiap langkah terasa seperti perpisahan kecil, meninggalkan fragmen kehidupanku yang dulu. Namun, saat aku menaiki bus, aku tahu ini bukan hanya soal kabur dari Callum. Ini soal mengambil kendali atas hidupku sendiri—dan melindungi anak yang tumbuh dalam diriku.
Aku duduk di kursi belakang, memandangi jendela, berharap ketenangan bisa segera datang. Bus mulai bergerak, meninggalkan terminal, dan dengan itu, aku meninggalkan Callum—untuk saat ini.
Tapi, jauh di dalam diriku, aku tahu ini belum berakhir. Callum akan mencariku, dan ketika dia tahu yang sebenarnya, tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan dia lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Caught in boss's grip (BL)
Teen Fiction(diusahakan untuk update setiap hari) Asher Roth adalah seorang omega pria yang bekerja di sebuah perusahaan ternama. Hidupnya berjalan baik-baik saja hingga suatu hari, ia tiba-tiba mengalami heat, dan situasi tersebut diketahui oleh bosnya, Callum...