37. unspoken truth (2)

2K 147 0
                                    

Kondisi Asher di waktu yang sama seperti Callum

Aku duduk di kursi bus, menatap keluar jendela, menyaksikan pemandangan yang perlahan berlalu. Setiap sudut jalan terasa begitu akrab, mengembalikan potongan-potongan memori yang dulu kusimpan-kebun bunga yang luas, rumah-rumah tetangga dengan jendela terbuka, dan langit yang tampak lebih biru di sini. Tapi, meskipun kampung halaman ini penuh dengan kenangan, langkahku terasa berat untuk kembali.

Keputusan untuk pulang bukanlah hal yang mudah. Bagaimana mungkin aku bisa menginjakkan kaki di tempat ini lagi setelah semua yang terjadi dengan Callum? Wajahnya terus menghantui pikiranku, menggantung di setiap bayangan, memaksa hatiku yang sudah rapuh untuk tetap bertahan. Aku berusaha mengusir pikiran itu, namun bayangan masa lalu terlalu kuat untuk diabaikan. Yang kuinginkan sekarang hanyalah kedamaian-sedikit ruang untuk bernapas, jauh dari hiruk-pikuk yang membebani hidupku.

Setelah perjalanan panjang yang terasa seperti tak ada ujungnya, bus akhirnya berhenti di terminal. Aku menarik napas dalam-dalam begitu menjejakkan kaki ke tanah, merasakan aroma udara segar yang pernah begitu akrab bagiku. Langkah kakiku lambat, ragu-ragu, menuju rumah yang pernah menjadi tempatku berlindung.

Begitu aku membuka pintu, aroma masakan ibuku langsung menyapa, membangkitkan nostalgia yang tak terelakkan. Di sana, di dapur yang hangat, berdiri Maria, ibuku, dengan senyum yang membuat wajahnya bersinar. "Asher! Kamu pulang!" serunya sambil segera menghampiriku, pelukannya erat, seolah-olah waktu tak pernah memisahkan kami.

Aku memeluknya kembali, merasakan kehangatan yang telah lama kurindukan. "Aku rindu, Bu," ucapku lirih, suaraku bergetar di antara rasa lega dan kelelahan yang menghantui.

Ibu menarik diri sedikit, memandangku dengan sorot mata yang penuh kasih. "Kamu terlihat lain, Nak. Ada apa di tempat kerjamu? Ini jarang sekali kamu pulang mendadak begini."

Aku menggeleng perlahan. "Tidak, Bu... nggak ada masalah besar. Tapi, kalau aku berhenti kerja, Ibu marah nggak?"

Senyum lembut terukir di wajahnya. Tangannya mengusap rambutku dengan lembut, seperti saat aku masih kecil. "Enggak, sayang. Kalau kamu nggak kerja, kamu bisa bantu Ibu di sawah dan kebun. Kita selalu bisa bersama di sini."

Aku tersenyum tipis, merasa sedikit lebih ringan, meskipun bayang-bayang Callum masih menggantung di belakangku.

***

Dua minggu telah berlalu sejak kepulanganku. Kehidupan di kampung memang sederhana, tetapi jauh dari keramaian dan tekanan, ada rasa damai yang sulit kujelaskan. Setiap hari diisi dengan rutinitas yang serupa-membantu ibu di sawah atau kebun, menyusuri ladang yang dipenuhi tanaman hijau, dan menutupinya dengan hoodie besar atau baju longgar yang kusuka. Aku tahu ibu memperhatikan kebiasaanku itu, tapi dia tak pernah bertanya. Mungkin karena dia tahu aku butuh waktu untuk sendiri, atau mungkin dia terlalu sibuk dengan urusan ladang.

Perubahan tubuhku mulai terlihat, dan meskipun aku berusaha menyembunyikannya, aku tak bisa menyangkal apa yang terjadi. Perutku mulai membesar, meskipun masih belum terlalu mencolok. Rasanya seperti bom waktu, dan setiap hari aku bertanya-tanya kapan ibu akan menyadari. Rasa mual yang kadang datang menghantam saat fajar tiba juga semakin sulit diabaikan. Saat bekerja di bawah terik matahari, aku sering merasakan lemas yang tidak biasanya.

Setiap malam, aku terbaring di tempat tidur, rasa gelisah terus menghantuiku, aku memeluk diriku sendiri di bawah selimut tebal, tapi kehangatan itu tak pernah cukup. Pikiranku terus melayang, terjebak di antara masa kini dan bayang-bayang Callum yang semakin kabur seiring berjalannya waktu. Aku mencoba menutup mata, berharap bisa tidur, tapi setiap kali aku memejamkan mata, ingatan tentang Callum menyerbu, dan perasaan hampa yang kutinggalkan di kota semakin menyiksaku.

Caught in boss's grip (BL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang