33. a heart on edge

2.2K 146 10
                                    

Author pov

Callum menghampiri Luke yang tengah duduk di mejanya, menepuk pelan pundaknya hingga Luke menoleh.

"Rapat evaluasi kinerja bulanan sebentar lagi dimulai. Tolong informasikan ke semua orang di divisi kamu untuk hadir," ujar Callum. "Dan Asher... kenapa dia tidak izin langsung ke saya kalau mau keluar kota? Kenapa dia malah izin lewat kamu?"

Luke mengangguk cepat. "Maaf, Pak. Asher nggak sempat izin langsung karena buru-buru banget. Dia bahkan WhatsApp saya saat sudah di bus. Katanya urusannya penting, ini soal nyawa seseorang," jelas Luke, mencoba meyakinkan Callum.

Callum menatap Luke dengan raut curiga, tapi memilih untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. Sekarang ini akhir bulan, dan perusahaan sibuk dengan evaluasi bulanan, laporan keuangan, anggaran, dan lainnya.

"Baiklah... Nanti saya coba hubungi dia," ujar Callum sebelum beranjak pergi.

Sementara itu, Callum melangkah menuju ruang rapat, pikirannya melayang pada Asher. Kenapa Asher harus buru-buru seperti itu? Kenapa soal izin harus melalui Luke? Biasanya Asher selalu berterus terang, apalagi dalam situasi seperti ini, di mana hubungan mereka semakin rumit dan emosional. Tangan Callum tanpa sadar merogoh saku, mencari ponselnya.

Sampai di depan ruang rapat, Callum berhenti sejenak. Ia melirik layar ponselnya, terpikir untuk langsung menelepon Asher sekarang, tapi ragu. Ada bagian dari dirinya yang khawatir dengan urusan yang dikatakan menyangkut nyawa seseorang itu. Tapi bagian lain dari dirinya menahan, mungkin ini bukan waktunya.

Dari dalam ruang rapat, beberapa staf sudah mulai berkumpul. Suara percakapan pelan terdengar di balik pintu kaca. Dengan menghela napas, Callum memasukkan kembali ponselnya ke saku. Prioritas pertama adalah rapat evaluasi.

Saat pintu terbuka dan dia melangkah masuk, pandangannya menyapu ruangan. Suasana di dalam terasa tegang, semua mata tertuju padanya. Ia mengangguk singkat, memberi isyarat untuk segera memulai.

"Baik, kita mulai rapat evaluasi kinerja bulanan," ucap Callum dengan suara tegas, mencoba mengesampingkan pikirannya tentang Asher. Tapi di sudut hatinya, rasa gelisah itu masih ada.

Dia tahu, cepat atau lambat, dia harus menghubungi Asher—dan mungkin saat itu, jawaban yang dia dapatkan tidak akan sesederhana alasan "urusan penting."

***

Setelah rapat evaluasi bulanan selesai, pikiran Callum kembali pada Asher. Ketidakpastian tentang kapan Asher akan kembali bekerja membuatnya sedikit panik. Pikirannya mulai melayang ke berbagai kemungkinan, memikirkan apa yang mungkin Asher lakukan. Pertemuan terakhir mereka pasti masih membebani pikiran Asher, dan itu membuat Callum gelisah.

Bagaimana jika Asher meninggalkanku?

Callum memijat pelipisnya, merasa pusing. Dia bersandar lelah di kursi, memperhatikan tumpukan dokumen di meja yang belum sempat direvisi. Tangannya meraih ke dalam saku celananya, mengambil ponsel dengan niat menelepon Asher, tapi langkahnya terhenti ketika ayahnya, Mr. Roberts, masuk ke ruangannya tanpa mengetuk.

Callum segera berdiri dan menghampiri ayahnya. "Ada apa lagi, Ayah?"

"Bagaimana dengan Isabella? Kenapa Ayah belum melihat ada kemajuan?" tanya Mr. Edwards, dengan nada tidak puas. "Tadi saat Ayah ke ruanganmu, Ayah malah melihat Isabella bercanda dengan pria berambut pirang."

Callum mendesah pelan, menahan frustrasi yang semakin menumpuk. "Ayah, dia itu baru 17 tahun! Aku tidak bisa, dan tidak mau, menikah dengan gadis yang masih remaja."

"Kamu bisa menunggunya sampai usia yang matang untuk menikah, Callum," ujar Mr. Edwards, tegas.

Callum dengan cepat menggeleng. "Tidak, Ayah. Aku sudah punya seseorang yang aku cintai."

Mr. Edwards menarik napas panjang, nada suaranya tetap tenang tapi tegas. "Kalau begitu, bawa dia ke hadapan Ayah sekarang."

Callum terdiam, bingung bagaimana menjelaskan bahwa orang yang ia cintai sedang tidak ada di kota. "Itu... dia sedang pergi, Ayah."

Mr. Edwards berjalan ke arah sofa dan duduk, tatapannya tajam namun sabar. "Ayah beri kamu waktu satu bulan. Satu bulan untuk membawa orang yang kamu cintai itu ke depan Ayah. Jika tidak, kamu akan menikah dengan Isabella, tanpa diskusi lagi."

Callum mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, merasakan tekanan berat menghimpit dadanya. "Ayah, ini tidak adil. Perasaan dan pilihanku bukan sesuatu yang bisa dipaksakan."

"Tidak ada yang adil di dunia ini, Callum. Tapi ini bukan hanya tentang perasaan. Ini tentang tanggung jawab, keluarga, dan masa depan. Kamu tahu apa yang dipertaruhkan."

Setelah mengucapkan itu, Mr. Edwards bangkit dari sofa, berjalan menuju pintu tanpa menunggu balasan dari Callum. "Satu bulan, Callum," ulangnya sebelum keluar ruangan, meninggalkan Callum dalam kebisuan.

Setelah ayahnya pergi, Callum kembali duduk dengan kepala penuh tekanan. Pikirannya kembali berputar pada Asher. Bagaimana dia bisa membereskan semua ini dalam waktu satu bulan? Asher bahkan belum tahu tentang ancaman perjodohan ini, apalagi rencana Mr. Edwards yang menekan Callum untuk menikahi Isabella.

Dengan perasaan kacau, Callum akhirnya membuka ponselnya. Kali ini, dia tidak ragu. Dia harus berbicara dengan Asher, harus memberitahunya secepat mungkin sebelum semuanya terlambat.

Callum menatap layar ponselnya, jemarinya gemetar saat dia menekan tombol panggil. Nomor Asher tertera di layar, berdering, tapi tak ada jawaban. Detik demi detik terasa lambat, dan ketika panggilan itu berakhir tanpa respons, dia mendesah frustasi.

Dengan cepat, Callum mencoba lagi, kali ini menekan lebih keras seolah itu bisa mempercepat Asher mengangkat telepon. Tapi tetap, hanya dering panjang yang menyambutnya. Kegelisahannya makin tumbuh.

Kenapa Asher tidak menjawab? Apa yang terjadi di luar kota?

Callum mencoba sekali lagi, kali ini mengirim pesan singkat setelah panggilannya tak diangkat lagi.

"Asher, tolong angkat telepon. Ini penting."

Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, tak ada balasan. Rasa panik mulai merayap di dadanya. Dia butuh berbicara dengan Asher, perlu mendengar suaranya dan meyakinkan dirinya bahwa semuanya baik-baik saja. Bahwa Asher tidak akan meninggalkannya di tengah situasi rumit ini.

Tanpa bisa menahan diri, Callum mencoba lagi untuk keempat kalinya. Ketika dering panjang itu berakhir tanpa jawaban, kali ini rasa frustrasi dan amarah yang ia pendam tak bisa ditahan lagi. Dengan gerakan cepat dan kasar, Callum melemparkan ponselnya ke meja. Suara keras benda itu menghantam kayu, ponselnya berputar dan jatuh ke lantai, membuat layar retak.

Dia menatap layar yang retak itu, seperti memandang hatinya yang pecah berantakan. Rasa kehilangan kendali perlahan-lahan merasuk dalam dirinya.

"Damn it!" seru Callum dengan suara penuh frustrasi. Tangannya gemetar, jantungnya berdebar kencang. Ia mendesah keras, menutup wajah dengan kedua tangan, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Jam di dinding berdetak pelan, tapi terasa seperti suara yang menusuk di telinga, setiap detiknya menambah tekanan yang sudah tak tertahankan.

Callum marah pada dirinya sendiri, pada situasi, dan pada kenyataan bahwa dia merasa tak berdaya. Ia mendesah keras, menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menenangkan pikirannya yang kacau. Pikirannya dipenuhi ketakutan akan Asher yang menjauh, ditambah dengan tekanan ultimatum dari ayahnya.

Dia tahu dia tak bisa terus seperti ini. Sesuatu harus dilakukan—tapi dia tak tahu harus mulai dari mana.

Caught in boss's grip (BL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang