Monala berdiri di depan cermin kecil di kamarnya, menatap wajahnya yang terlihat biasa-biasa saja. Rambutnya hitam legam, tergerai, dan matanya yang bulat tampak penuh rasa ingin tahu, meski seringkali redup. Ia bukanlah sosok yang mencolok di sekolah maupun di rumah. Sebagai anak tengah dari tiga bersaudara, Monala selalu merasa seperti bayangan di antara kakak dan adiknya yang bersinar lebih terang. Dia tidak pandai dalam pelajaran, tidak berprestasi di bidang olahraga, dan tidak pernah terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler yang menonjol. Dalam pandangannya, semua orang di sekelilingnya tampak memiliki tujuan yang jelas, sedangkan dia masih terombang-ambing tanpa arah.
Kakaknya, Raisa, adalah bintang di sekolah. Ia cerdas, aktif di organisasi siswa, dan selalu mendapat nilai terbaik di kelas. Sedangkan adiknya, Riko, meski baru berusia tujuh tahun, sudah menunjukkan bakat luar biasa dalam menggambar dan bermain piano. Monala tidak bisa tidak merasa iri. Sejak kecil, dia sering mendengar pujian untuk Raisa dan Riko, sementara dia hanya dianggap "anak tengah" yang tidak memberikan banyak kebanggaan bagi orang tuanya.
"Monala, kenapa kamu tidak belajar seperti Raisa? Lihatlah betapa rajinnya dia," suara Mamanya sering terngiang di telinga Monala. Kalimat itu seakan menjadi mantra yang terus berulang dalam hidupnya. Ia berusaha belajar, tetapi setiap kali ujian datang, hasilnya selalu mengecewakan. Kegagalan demi kegagalan membuatnya semakin merasa terasing.
Hari itu adalah hari yang biasa di sekolah. Monala berjalan menyusuri koridor yang ramai dengan teman-temannya yang berbincang riang. Ia memperhatikan bagaimana orang-orang berkumpul dalam kelompok, tertawa, dan berbagi cerita. Di sana, Rina, sahabatnya, tengah bercerita tentang kegiatan ekstrakurikuler yang baru saja mereka ikuti.
"Mon, kamu harus coba ikut! Kita bisa berdua!" Rina mengajak dengan semangat. Monala hanya tersenyum, merasa tidak punya keberanian untuk menolak. Namun, di dalam hati, ia meragukan dirinya sendiri.
"Aku… tidak tahu," jawab Monala pelan.
"Mungkin aku bukan orang yang tepat untuk itu."
"Oh, jangan begitu! Kamu pandai memasak! Kita bisa membuat kue bersama untuk acara itu," Rina mendorong, berharap bisa membangkitkan semangat Monala.
Masakan adalah satu-satunya hal yang bisa membuat Monala merasa percaya diri. Ketika ia berada di dapur, semua keraguan dan ketidakpastian seolah menghilang. Mengaduk adonan, mencampurkan bahan-bahan, dan menunggu kue matang adalah pengalaman yang memberikan kebahagiaan tersendiri. Namun, meski Rina terus membujuknya, Monala merasa bahwa memasak bukanlah sesuatu yang bisa membuatnya bersinar di depan teman-temannya.
Di rumah, Monala duduk di meja makan sambil menikmati sepotong kue cokelat yang dibuatnya sendiri. Kue itu manis dan lembut, dan saat mengigitnya, ia merasa sedikit lega. Mama datang dan melihat Monala yang asyik menikmati kreasinya.
"Mon, kue ini enak sekali! Kamu benar-benar berbakat!" puji Mama. Kata-kata itu membuat hati Monala bergetar, meskipun cepat sirna oleh perasaan ragu yang menyusul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Anak Tengah
Teen FictionMonala, seorang siswi SMP yang pemalu dan pendiam, tumbuh sebagai anak tengah dalam sebuah keluarga sederhana. Hidupnya dipenuhi dengan bayang-bayang kakak yang selalu berprestasi dan adik yang ceria dan penuh percaya diri. Monala, yang tidak terlal...