Setelah sukses di kompetisi memasak, Monala dan Lila kembali ke rutinitas sekolah mereka dengan semangat yang baru. Namun, euforia kemenangan tidak sepenuhnya menyembunyikan tantangan yang harus mereka hadapi di lingkungan sekolah. Mereka menyadari bahwa kesuksesan membawa perhatian, dan tidak semua perhatian itu positif.
Hari pertama setelah kompetisi, saat mereka memasuki kelas, beberapa teman sekelas menyambut mereka dengan tepuk tangan. Suasana riuh dan penuh kegembiraan, tetapi Monala merasakan sesuatu yang berbeda di balik pujian tersebut. Beberapa siswa mulai mengajukan pertanyaan yang tak terduga.
"Monala, Lila, apa kalian berencana untuk mengikuti kompetisi lain? Sepertinya kalian sangat berbakat!" tanya Adit, teman sekelas mereka.
"Ya, kami sudah mulai merencanakan beberapa resep baru," jawab Lila dengan senyum lebar, mencoba menjaga suasana tetap ceria.
Namun, seiring berjalannya waktu, Monala mulai mendengar bisikan di antara siswa-siswa lainnya. Beberapa di antaranya tampak iri dengan keberhasilan mereka.
"Mereka hanya beruntung," salah satu dari mereka berbisik.
Rasa cemas melanda Monala, dan dia mengalihkan pandangannya ke Lila, yang tampaknya tidak menyadari apa yang terjadi. Monala tahu bahwa ketenaran yang baru mereka peroleh dapat membawa tantangan baru yang mungkin lebih sulit dari yang mereka bayangkan.
Selama beberapa hari berikutnya, suasana di kelas menjadi semakin tegang. Meskipun mereka mendapatkan dukungan dari teman-teman terdekat, ada juga yang mulai menjauh. Beberapa siswa tampaknya mulai mengucilkan Monala dan Lila. Dalam satu kesempatan, saat mereka sedang berdiskusi tentang resep baru di kantin, mereka mendengar beberapa siswa lain berbicara.
"Pasti ada sesuatu yang aneh dengan cupcake mereka. Tidak mungkin mereka bisa menang hanya dengan itu," salah satu dari mereka berkomentar.
"Ya, mungkin itu hanya keberuntungan. Aku tidak terkesan," kata yang lain.
Monala merasa hatinya cemas.
"Lila, apakah kamu mendengar itu?" tanyanya, suaranya hampir berbisik.
Lila menatap Monala dengan ekspresi khawatir.
"Aku mendengar. Tapi kita tidak perlu mempedulikannya. Kita tahu apa yang telah kita lakukan dan usaha yang telah kita capai."
Namun, semakin Monala mendengar bisikan-bisikan tersebut, semakin besar rasa cemasnya. Dia merasa terjebak dalam situasi di mana kesuksesan justru membuatnya lebih rentan. Monala tidak tahu bagaimana cara menghadapi situasi ini.
Suatu hari, saat istirahat, Monala dan Lila menemukan diri mereka duduk sendirian di pojok kantin. Teman-teman lain tampaknya lebih tertarik untuk bergabung dengan kelompok yang lebih populer, dan mereka merasa diabaikan. Monala merasa terpuruk dan ingin sekali meluangkan waktu untuk memasak bersama Lila lagi, jauh dari semua hiruk-pikuk di sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Anak Tengah
Teen FictionMonala, seorang siswi SMP yang pemalu dan pendiam, tumbuh sebagai anak tengah dalam sebuah keluarga sederhana. Hidupnya dipenuhi dengan bayang-bayang kakak yang selalu berprestasi dan adik yang ceria dan penuh percaya diri. Monala, yang tidak terlal...