Hari-hari setelah perpisahan dengan neneknya membawa Monala pada sebuah perjalanan emosional yang kompleks. Meskipun ia berusaha untuk bangkit dan melanjutkan hidup, ada satu tempat yang selalu bisa membuatnya merasa lebih baik: dapur. Ruang di mana ia belajar banyak hal dari neneknya, di mana aroma rempah dan masakan segar mengalir, menyimpan kenangan manis yang tidak ingin ia lupakan. Kini saatnya baginya untuk kembali ke dapur dan menyalakan kembali semangat yang sempat redup.
Malam itu, Monala berdiri di depan kompor, mengamati peralatan dapur yang sudah berdebu. Sejak neneknya pergi, ia jarang sekali memasak, memilih untuk menyendiri dan meratapi kehilangan. Namun, ia menyadari bahwa ia tidak bisa terus-menerus terperangkap dalam kesedihan. Ia ingin merayakan kehidupan dan cinta yang telah neneknya berikan. "Aku akan kembali ke dapur," pikirnya mantap.
Monala mulai mengeluarkan peralatan dapur satu per satu. Pisau, talenan, panci, dan wajan—semua benda ini memiliki cerita masing-masing. Ia tersenyum mengingat bagaimana neneknya sering kali mengajarinya cara memotong sayur dengan cepat dan aman. Setiap potongan selalu disertai dengan tawa dan cerita.
"Ayo, Mon, kita buat masakan yang enak hari ini!" suara neneknya seolah terdengar di telinganya.
Pertama, ia memutuskan untuk memasak pasta, salah satu hidangan favorit neneknya. Monala mengambil bahan-bahan yang diperlukan: spaghetti, tomat segar, bawang putih, minyak zaitun, dan beberapa rempah. Ia ingat betul betapa pentingnya bahan-bahan segar bagi neneknya.
"Bahan yang baik akan menghasilkan masakan yang lezat," selalu dikatakannya.
Monala mulai menyiapkan semuanya dengan hati-hati. Ia memotong bawang putih menjadi potongan kecil dan mencincang tomat. Aroma harum mulai tercium ketika minyak zaitun dipanaskan di atas wajan. Ia mencurahkan bawang putih yang telah dicincang, mengaduknya hingga berwarna keemasan. Dengan penuh semangat, Monala memasukkan tomat dan mulai mengaduk campuran itu. Setiap kali ia mengaduk, ia merasa seolah-olah neneknya ada di sampingnya, membimbingnya.
Namun, di tengah proses memasak, Monala merasakan kepedihan yang datang kembali. Air matanya mulai mengalir saat ia mengingat momen-momen yang sudah tidak bisa ia ulang.
"Kenapa kau harus pergi, Nenek?" bisiknya. Ia menutup matanya sejenak, mengingat semua pelajaran berharga yang telah neneknya ajarkan. Ia membuka matanya kembali, mengambil napas dalam-dalam, dan kembali fokus pada masakannya.
Setelah beberapa saat, pasta pun matang. Monala menyalakan kompor kecil dan memasak spaghetti, mengikuti petunjuk yang pernah diajarkan neneknya. Saat mengangkat spaghetti dari air panas, ia teringat betapa neneknya selalu memberikan sentuhan akhir pada hidangan tersebut dengan mencampurkan saus dengan penuh cinta.
"Kita buat ini dengan penuh cinta, Mon!" ucap neneknya.
Setelah selesai, Monala menyajikan pasta di piring dengan penuh rasa syukur. Meskipun air matanya masih mengalir, ia merasa ada kehangatan dalam hatinya saat memandang hidangan yang telah ia buat. Ia duduk di meja makan, merasakan aroma makanan yang mengingatkannya pada neneknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Anak Tengah
Teen FictionMonala, seorang siswi SMP yang pemalu dan pendiam, tumbuh sebagai anak tengah dalam sebuah keluarga sederhana. Hidupnya dipenuhi dengan bayang-bayang kakak yang selalu berprestasi dan adik yang ceria dan penuh percaya diri. Monala, yang tidak terlal...