17. Patah Semangat

0 0 0
                                    

Hari-hari setelah kompetisi memasak yang membuat Monala merasa seolah-olah melangkah di atas awan mulai mereda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari-hari setelah kompetisi memasak yang membuat Monala merasa seolah-olah melangkah di atas awan mulai mereda. Meskipun dia tidak memenangkan kompetisi, pengalaman itu memberinya harapan baru. Namun, harapan itu seolah mulai memudar ketika kenyataan mulai menghampirinya. Beberapa minggu setelah kompetisi, Monala kembali merasakan keraguan dan patah semangat yang mulai menggerogoti dirinya.

Sekolah akan segera berakhir, dan semua teman sekelasnya sibuk mempersiapkan diri untuk memasuki tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Mereka membahas sekolah menengah atas yang mereka impikan, dan banyak yang sudah mendapatkan informasi mengenai beasiswa dan jalur masuk yang diinginkan. Sementara itu, Monala merasa terjebak dalam kebingungan dan ketidakpastian. Dia masih belum tahu apakah dia ingin melanjutkan ke sekolah menengah atas atau mengejar impiannya dalam dunia kuliner.

Suatu pagi, Monala duduk di bangku taman sekolah dengan Dika, yang tampak bersemangat membicarakan rencana masa depannya.

"Mon, aku sudah mendaftar di sekolah menengah atas yang memiliki program unggulan di bidang sains. Aku tidak sabar untuk mulai belajar lagi!" ujar Dika dengan wajah bersinar.

"Bagus, Dika! Aku senang untukmu," jawab Monala, meskipun hatinya terasa berat. Dia merasa seolah-olah tertinggal, tidak memiliki arah yang jelas, dan tidak tahu ke mana harus melangkah.

"Kamu tidak mendaftar di mana pun, ya? Kamu pasti punya rencana, kan?" Dika menatap Monala dengan khawatir.

Monala menggelengkan kepala. "Belum. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Semua orang sudah memiliki rencana, sementara aku hanya bingung," ucapnya, suara merendah.

"Kamu punya waktu, Mon. Mungkin kamu bisa mengeksplorasi lebih banyak tentang memasak. Ikuti kelas memasak atau coba kerja part-time di restoran. Aku yakin kamu akan menemukan jalurmu sendiri." Dika mencoba menenangkan Monala.

Monala tersenyum lemah. "Ya, tapi itu tidak mudah, Dika. Kadang-kadang aku merasa seperti semua usaha yang aku lakukan sia-sia. Tidak ada yang mendukungku dengan sepenuh hati."

Setelah percakapan itu, Monala pulang ke rumah dengan perasaan yang semakin berat. Dia mencoba merenungkan apa yang Dika katakan, tetapi hatinya dipenuhi dengan keraguan. Setiap kali dia memasak di dapur, ada suara kecil dalam dirinya yang mengatakan, "Apa yang kamu lakukan ini sia-sia. Kamu tidak berbakat. Semua orang lebih baik darimu."

***

Beberapa hari kemudian, Monala kembali mengalami patah semangat ketika dia melihat sebuah poster di sekolah tentang audisi untuk acara memasak di televisi. Acara tersebut menjanjikan kesempatan untuk mendapatkan beasiswa di sekolah kuliner ternama bagi pemenangnya. Sekilas, Monala merasa terangsang dengan peluang itu, tetapi saat memikirkan apa yang diharapkan dari peserta, dia merasa ketakutan.

"Tidak mungkin aku bisa bersaing dengan mereka. Mereka pasti jauh lebih berbakat," pikir Monala. Dia merasa seolah-olah harapannya semakin menjauh, dan semua semangat yang pernah dia rasakan kini lenyap.

Sang Anak Tengah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang