Hari-hari setelah ujian akhir berlalu dengan cepat. Monala yang awalnya merasa senang dan lega setelah lulus, perlahan mulai merasakan kekosongan. Keberhasilan ujian ternyata tidak memberikan kebahagiaan yang ia bayangkan. Dia mulai merasakan kegelisahan dan ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
Setiap kali dia melihat teman-temannya, mereka terlihat sibuk dengan rencana masa depan mereka. Beberapa dari mereka sudah mendaftar di sekolah-sekolah favorit, berbicara tentang kegiatan ekstrakurikuler baru yang akan mereka ikuti, atau membahas impian besar mereka. Monala, di sisi lain, masih merasa seperti tidak tahu harus ke mana. Dia selalu merasa berbeda dari teman-temannya—tidak sepandai mereka dalam akademik, dan tidak pernah benar-benar tahu apa bakatnya yang sebenarnya.
Suatu hari, saat dia sedang duduk di bangku taman sekolah setelah jam pelajaran, Dika, sahabatnya, mendekat.
"Mon, ada yang salah? Kamu kelihatan lesu akhir-akhir ini," tanya Dika dengan nada khawatir. Monala terdiam sejenak, tidak tahu bagaimana harus menjawab.
"Aku tidak tahu, Dika. Aku hanya merasa... kosong. Aku lulus, tapi aku tidak tahu harus apa sekarang. Semua orang punya rencana besar, sementara aku… aku tidak tahu apa yang aku inginkan," jawab Monala dengan nada pelan.
Dika menatapnya dengan simpatik. "Aku mengerti, Mon. Tapi mungkin kamu hanya butuh waktu untuk menemukan apa yang benar-benar kamu suka. Kamu suka memasak, kan? Itu sudah sesuatu yang besar!" ujar Dika, berusaha menyemangati.
Monala tersenyum lemah. Memasak memang sesuatu yang dia cintai, tapi dia tidak yakin apakah itu cukup. Apakah memasak bisa menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar hobi? Bagaimana jika dia gagal lagi, seperti dalam banyak hal lainnya? Ketidakpastian itu menghantui pikirannya.
***
Keesokan harinya, Monala menerima kabar yang membuat hatinya teriris. Ibu dan ayahnya duduk di ruang tamu ketika dia pulang dari sekolah. Wajah mereka tampak serius, dan Monala merasa ada sesuatu yang tidak beres.
"Monala, kita perlu bicara," ujar ayahnya, memulai pembicaraan dengan nada berat.
Monala duduk di kursi berhadapan dengan mereka, merasa gugup.
"Ada apa, Ayah?" tanyanya perlahan.
"Kami telah mempertimbangkan rencana pendidikanmu, dan kami merasa bahwa dengan nilai-nilaimu yang tidak terlalu bagus, kamu mungkin perlu mempertimbangkan pilihan lain," kata ayahnya, suaranya datar.
"Kami tahu kamu menyukai memasak, tapi kami juga ingin kamu fokus pada hal-hal yang lebih serius. Kami ingin kamu memikirkan kembali apa yang terbaik untuk masa depanmu."
Monala terdiam. Hatinya terasa remuk. Semua harapan yang dia bangun perlahan runtuh. Dia berharap keluarganya akan mendukung kecintaannya pada memasak, tetapi ternyata mereka tidak percaya bahwa itu adalah jalan yang tepat untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Anak Tengah
Teen FictionMonala, seorang siswi SMP yang pemalu dan pendiam, tumbuh sebagai anak tengah dalam sebuah keluarga sederhana. Hidupnya dipenuhi dengan bayang-bayang kakak yang selalu berprestasi dan adik yang ceria dan penuh percaya diri. Monala, yang tidak terlal...