Hari itu, langit tampak cerah, tetapi Monala merasa seolah awan gelap menyelimuti hatinya. Suara tawa dan obrolan di sekitar membuatnya semakin merasa terasing. Di sekolah, semua orang tampak bersemangat menyambut perlombaan memasak yang akan datang, tetapi Monala justru merasa sebaliknya. Ia ingin berpartisipasi, tetapi ada rasa takut yang membelenggu.
Di kelas, Monala duduk di pojok, mengamati teman-teman sekelasnya yang berbincang. Rina, sahabatnya, selalu ada di sisinya, tetapi kadang-kadang Monala merasa tidak ingin mengganggu keceriaan Rina. Rina sudah berulang kali menawarinya untuk bergabung, tetapi Monala selalu menarik diri, berusaha menyembunyikan rasa cemas yang terus menghantuinya.
"Mon, ayo! Kita harus mempersiapkan semua bahan untuk lomba!" seru Rina, menarik perhatian Monala.
"Kita bisa membeli bahan setelah sekolah!"
Monala hanya mengangguk. Ia merasa jantungnya berdebar-debar, rasa khawatir membuatnya sulit berkata-kata. Dalam hati, ia ingin sekali berteriak, tetapi suara itu seakan terperangkap di dalam tenggorokannya. Dia merasakan seolah suaranya hilang di tengah keramaian.
Di rumah, Monala duduk di meja makan, mengamati keluarganya yang sedang berbicara. Raisa dan Riko saling bercerita tentang pelajaran di sekolah, sementara mamanya terlihat sibuk menyiapkan makanan. Setiap kali Monala mencoba untuk ikut bicara, suaranya seolah tertelan oleh suara riuh mereka.
"Mon, kamu tidak ingin cerita tentang apa yang kamu lakukan di sekolah?" tanya Mamanya tanpa menoleh.
"Ah, tidak ada yang menarik," jawab Monala pelan. Dia merasa kalimat itu selalu menjadi alasan yang tepat. Dalam pikirannya, apa pun yang ia ceritakan pasti akan tampak membosankan jika dibandingkan dengan keberhasilan Raisa dan bakat Riko.
Malam itu, Monala berbaring di tempat tidurnya, memikirkan semuanya. Setiap kali ia mencoba berbicara, ada perasaan cemas yang muncul, seakan-akan semua orang menunggu untuk menilai setiap kata yang keluar dari mulutnya. Dia merasa suaranya tidak berarti.
"Apa yang salah denganku?" bisiknya pada diri sendiri, merasakan air mata menggenang di sudut matanya. Monala ingin berteriak, tetapi ia tidak ingin mendengar suara hatinya yang penuh dengan kesedihan.
Keesokan harinya di sekolah, Monala merasakan beban yang lebih berat. Dia melihat poster lomba memasak yang tergantung di dinding kelas. Berbagai warna dan gambar makanan yang menggoda memperlihatkan suasana meriah, tetapi bagi Monala, semua itu hanya mengingatkan pada ketidakpastian yang mengikutinya.
Ketika bel sekolah berbunyi, semua siswa berlarian keluar menuju lapangan untuk berlatih. Monala menahan diri, tidak ingin ikut serta. Rina menunggu di pintu kelas, tetapi Monala justru melangkah ke arah lain.
"Mon, di mana kamu?" tanya Rina, mengikuti Monala.
"Aku... hanya ingin sendiri sebentar," jawab Monala, berusaha tersenyum meski hatinya berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Anak Tengah
Teen FictionMonala, seorang siswi SMP yang pemalu dan pendiam, tumbuh sebagai anak tengah dalam sebuah keluarga sederhana. Hidupnya dipenuhi dengan bayang-bayang kakak yang selalu berprestasi dan adik yang ceria dan penuh percaya diri. Monala, yang tidak terlal...