Hari-hari setelah ujian akhir berlalu dengan cepat. Monala merasa seolah-olah dunia di sekelilingnya berputar lebih cepat dari biasanya. Setelah melewati masa-masa tegang dan menegangkan, dia mulai merasa lebih santai. Meskipun hasil ujian sudah diumumkan, dia masih bisa merasakan dampak dari pengalaman belajar yang penuh emosi itu. Rina tetap di sampingnya, dan bersama-sama mereka merayakan pencapaian Monala.
Dengan semua beban ujian yang terangkat, Monala menemukan dirinya memiliki lebih banyak waktu untuk merenung. Dia memikirkan semua yang telah dia lalui, tentang persahabatan yang semakin kuat dengan Rina, dan juga tentang bagaimana dia belajar untuk menghargai ketulusan hati. Namun, satu hal yang terus berputar dalam pikirannya adalah apa yang ingin dia lakukan selanjutnya.
"Mon, setelah ujian ini, apa rencanamu?" tanya Rina suatu sore saat mereka duduk di kafe favorit mereka, menyeruput es krim sambil menikmati angin sejuk yang bertiup dari jendela.
Monala menatap mangkuk es krimnya, tak tahu harus menjawab apa. "Aku... belum begitu yakin. Aku merasa seperti aku baru saja keluar dari kegelapan, dan sekarang aku harus mencari tahu apa yang ingin aku lakukan," jawab Monala, suaranya penuh kebingungan.
Rina tersenyum lembut. "Itu wajar, Mon. Setelah masa ujian, banyak orang merasa bingung tentang langkah selanjutnya. Mungkin kamu bisa mulai dengan hal-hal yang kamu sukai. Seperti memasak!'
Mendengar kata-kata Rina, Monala merasakan nyala semangat dalam dirinya. Memasak telah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Meskipun dia tidak pernah menganggapnya sebagai jalan hidup, tetapi rasa cinta dan kebahagiaan yang dia dapatkan dari memasak adalah sesuatu yang nyata dan mendorongnya untuk berpikir lebih dalam.
"Ya, aku memang suka memasak. Tapi bagaimana jika itu hanya hobi? Bagaimana jika aku tidak cukup baik untuk menjadikannya karier?" tanyanya, merasa ragu.
Rina menggelengkan kepala. "Kamu tidak akan tahu sebelum mencobanya. Mengapa tidak mencoba mengambil kursus memasak atau bergabung dengan komunitas memasak? Siapa tahu, mungkin itu bisa menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar hobi untukmu."
Monala terdiam sejenak, merenungkan ide itu. Dia pernah mendengar tentang kelas memasak di komunitasnya, tetapi belum pernah memikirkan untuk ikut.
"Itu ide yang bagus, Rina. Tapi, aku tidak tahu apakah aku siap untuk itu," jawabnya, merasa cemas sekaligus bersemangat.
"Mon, ingat, tidak ada salahnya mencoba. Dan kamu bisa melakukannya bersama aku. Aku akan mendukungmu," Rina meyakinkan, membuat Monala merasa sedikit lebih percaya diri.
Akhir pekan berikutnya, Monala memutuskan untuk mengambil langkah pertama. Dia mendaftar untuk kelas memasak yang diadakan di pusat komunitas setempat. Hari pertama kelas, dia merasa sangat gugup. Begitu tiba di lokasi, Monala melihat beberapa peserta lain yang tampaknya lebih berpengalaman. Mereka mengenakan apron yang sudah ternoda, jelas bahwa mereka sering memasak. Monala merasa seolah-olah dia tidak ada di tempat yang seharusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Anak Tengah
Teen FictionMonala, seorang siswi SMP yang pemalu dan pendiam, tumbuh sebagai anak tengah dalam sebuah keluarga sederhana. Hidupnya dipenuhi dengan bayang-bayang kakak yang selalu berprestasi dan adik yang ceria dan penuh percaya diri. Monala, yang tidak terlal...