Hari-hari di sekolah semakin menantang bagi Monala. Setelah mengatasi berbagai rintangan dan menemukan kebahagiaan dalam memasak, kini dia harus menghadapi ujian akhir yang akan datang. Semua teman sekelasnya terlihat lebih sibuk dan stres, berusaha belajar sebaik mungkin untuk mendapatkan nilai yang tinggi. Monala merasa cemas, tetapi dia berusaha untuk tetap tenang. Dia tahu bahwa dia tidak pintar dalam akademis, tetapi dia percaya pada kemampuannya untuk berusaha keras.
Suatu hari, saat pelajaran matematika berlangsung, Monala duduk di bangkunya sambil memperhatikan guru menjelaskan rumus yang sulit. Di sampingnya, Rina tampak serius mencatat semua penjelasan. Monala mencuri pandang ke arah Rina dan merasa sedikit tertekan. Dia berharap bisa mengikuti pelajaran dengan baik seperti Rina, tetapi otaknya terasa berat. Dia menghela napas panjang, merasa putus asa.
Setelah pelajaran selesai, Rina menatap Monala dengan cemas.
"Mon, kamu terlihat tidak fokus. Apakah kamu baik-baik saja?"
Monala mengangguk lemah. "Aku hanya merasa sedikit tertekan dengan ujian yang akan datang. Aku ingin belajar, tetapi sulit bagiku untuk memahami semuanya."
Rina mengerti dan menepuk punggung Monala dengan lembut. "Ayo kita belajar bersama! Aku bisa membantu menjelaskan hal-hal yang sulit. Kita bisa belajar di rumahku setelah sekolah."
Senyuman muncul di wajah Monala. "Itu ide yang bagus, Rina! Terima kasih banyak."
Malam itu, mereka belajar bersama di rumah Rina. Rina dengan sabar menjelaskan rumus-rumus yang sulit, sementara Monala berusaha keras untuk menangkap semuanya. Meskipun ada beberapa momen frustrasi, mereka juga tertawa bersama, menciptakan suasana yang menyenangkan di tengah tekanan belajar.
Namun, di tengah-tengah belajar, Monala mulai merasakan kekhawatiran yang lebih besar. Dia tidak hanya khawatir tentang ujian, tetapi juga tentang perasaannya terhadap Rina. Dalam beberapa minggu terakhir, Monala mulai menyadari bahwa dia sangat bergantung pada Rina. Ketulusan hati Rina yang selalu ada untuk mendukungnya membuat Monala merasa nyaman, tetapi dia juga merasa bersalah karena tidak bisa membalas dukungan itu dengan cara yang sama.
Suatu malam, setelah sesi belajar yang melelahkan, Monala mengajak Rina untuk beristirahat sejenak.
"Rina, aku ingin berbicara tentang sesuatu yang penting," kata Monala, suaranya sedikit bergetar.
"Ya, apa itu?" Rina bertanya dengan penuh perhatian.
Monala mengambil napas dalam-dalam. "Aku merasa tertekan akhir-akhir ini, bukan hanya tentang ujian, tetapi juga tentang kita. Aku merasa aku bergantung padamu lebih dari yang seharusnya. Aku tidak ingin membuatmu merasa terbebani."
Rina menatap Monala dengan lembut. "Mon, kamu tidak perlu khawatir tentang itu. Kita adalah sahabat, dan aku senang bisa membantumu. Aku akan selalu ada untukmu, tidak peduli apa pun."
Namun, Monala merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar persahabatan. Dia menyadari bahwa dia merindukan momen-momen ketika mereka bisa berbagi lebih banyak daripada sekadar belajar. Dia merindukan kedekatan yang lebih dalam dan rasa saling memahami yang tak terucapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Anak Tengah
Teen FictionMonala, seorang siswi SMP yang pemalu dan pendiam, tumbuh sebagai anak tengah dalam sebuah keluarga sederhana. Hidupnya dipenuhi dengan bayang-bayang kakak yang selalu berprestasi dan adik yang ceria dan penuh percaya diri. Monala, yang tidak terlal...