24. Menyendiri

0 0 0
                                    

Setelah pemakaman neneknya, Monala merasakan kehampaan yang sulit untuk diungkapkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah pemakaman neneknya, Monala merasakan kehampaan yang sulit untuk diungkapkan. Suara-suara riuh di sekitarnya menjadi samar, dan ia merasa seolah dunia berputar tanpa arah. Semua kenangan indah yang ia simpan bersama neneknya kini terasa seperti bayangan yang samar, membayangi pikirannya dalam kesunyian yang mendalam. Dia merasa perlu waktu untuk menyendiri, meresapi semua yang telah terjadi dan menemukan cara untuk melanjutkan hidup.

Hari-hari setelah perpisahan itu terasa berat. Monala sering kali melangkah ke sekolah dengan perasaan kosong, seolah-olah sebuah bagian dari dirinya telah hilang. Rina, sahabatnya yang selalu penuh perhatian, berusaha mendukungnya, tetapi Monala merasa tidak siap untuk berbagi rasa sakitnya. Ia lebih suka menyimpan semuanya di dalam hati, membiarkan kesedihan itu meresap seiring berjalannya waktu.

Ketika bel istirahat berbunyi, Monala menemukan dirinya duduk sendirian di sudut kelas, mengamati teman-temannya bercengkerama. Suasana penuh tawa dan keceriaan di sekitar membuat hatinya semakin berat.

"Mengapa mereka semua bisa bahagia?" pikirnya dalam hati. "Apakah mereka tidak merasakan apa yang aku rasakan?"

Suatu siang, setelah pelajaran selesai, Monala memutuskan untuk pergi ke taman dekat sekolah. Dia tahu bahwa di sana, di tengah keheningan alam, ia bisa sedikit merasa tenang. Taman itu adalah tempat yang sering ia kunjungi bersama neneknya, menikmati kebersamaan dengan segelas teh dan beberapa kue yang mereka buat bersama. Kini, semuanya terasa berbeda.

Ketika tiba di taman, Monala duduk di bangku kayu yang sudah usang, menatap pepohonan yang rimbun. Angin berhembus lembut, membawa aroma segar dari bunga-bunga yang bermekaran. Meskipun pemandangan itu indah, perasaannya tetap muram. Ia merasa seolah-olah terjebak dalam kenangan yang tak bisa ia lepaskan.

"Nenek, kenapa kau harus pergi?" bisiknya pada diri sendiri.

Di tengah keheningan, Monala mengambil buku catatan kecil yang selalu ia bawa. Ia membuka halaman-halaman yang penuh coretan tentang masakan dan resep yang ia pelajari. Halaman-halaman itu juga dipenuhi dengan catatan kecil tentang momen-momen bersama neneknya—cerita-cerita lucu, pelajaran berharga, dan impian yang ingin ia capai. Ia mulai menulis lagi, tetapi kali ini, tulisannya tidak berfokus pada masakan.

Kepada Nenek,

Hari ini aku merasa kosong. Rasanya sulit untuk melanjutkan hidup tanpa hadirmu di sampingku. Setiap kali aku mencoba memasak, aku merindukan suaramu di belakangku, mengajarkanku dengan sabar. Kenapa hidup harus seberat ini? Kenapa kita harus merasakan kehilangan yang menyakitkan?

Ia menulis dengan penuh emosi, air mata mengalir di pipinya. Setiap kata yang ditulisnya adalah sebuah ungkapan dari hatinya yang terluka. Monala terus menulis hingga tangannya lelah, berharap bisa menuangkan semua kesedihan itu ke dalam halaman-halaman yang tak akan pernah menghakimi.

Setelah beberapa saat, Monala merasa lebih tenang. Namun, ketenangan itu hanya bersifat sementara. Dia tahu bahwa dia harus menghadapi kenyataan dan menemukan cara untuk melanjutkan hidup. Tanpa disadari, waktu telah berlalu, dan matahari mulai terbenam. Dengan enggan, ia bangkit dari bangku dan berjalan pulang ke rumah.

Sang Anak Tengah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang