Bab 10. Mengeksplorasi Kehidupan Baru

488 10 6
                                    

Wina, yang kini dikendalikan oleh pria cabul, berdiri di samping tempat tidur sambil menyeringai puas. Di depannya, Hana terisak, memeluk lututnya, merasa seluruh dunianya hancur. Penampilannya yang rusak, tubuhnya yang terasa kotor, membuat Hana semakin tenggelam dalam kebencian terhadap dirinya sendiri. Dengan tangan gemetar, dia mulai mencakar kulitnya, berusaha melampiaskan rasa sakit emosionalnya ke dalam luka fisik.

"Apa yang telah kulakukan...?" bisik Hana di sela isak tangisnya. Dia melihat bekas luka kecil di lengannya yang mulai memerah akibat cakarannya sendiri. "Aku membencimu... aku membenci diriku..."

berjalan mendekat, berlutut di hadapan Hana dan berpura-pura peduli. "Tenang, Hana... semua akan baik-baik saja," katanya dengan suara lembut, meski dalam hatinya ia tertawa menikmati kekacauan ini. Dia merangkul Hana, seolah-olah memberikan dukungan.

Namun, kegaduhan di kamar membuat Pak Gunawan dan Bu Santi mulai khawatir. Mereka berdiri di depan pintu kamar, mengetuk dengan cemas.

"Hana, semuanya baik-baik saja?" Pak Gunawan bertanya dengan nada khawatir.

Pria cabul dalam tubuh Wina menoleh ke arah pintu, lalu memberikan tatapan penuh kelicikan pada Hana yang sedang terisak. "Tenanglah, Hana. Biarkan aku yang mengurus ini."

membuka pintu. "Om, Tante... maaf, Hana sedang merasa sangat tertekan. Aku sedang mencoba menenangkannya," katanya sambil menampilkan senyuman yang terlihat penuh kasih.

Pak Gunawan dan Bu Santi melihat Hana yang menangis dalam pelukan Wina. Mata mereka dipenuhi rasa prihatin, tetapi Wina berhasil memanipulasi situasi dengan sempurna. "Dia hanya butuh waktu, Om, Tante. Keadaan ini benar-benar menghancurkannya."

Bu Santi menghela napas, lalu mengusap pipinya yang basah oleh air mata. "Ya Tuhan... kita harus segera membawanya ke rehabilitasi. Dia butuh bantuan profesional."

Dengan akting yang sempurna, Wina mengangguk. "Itu keputusan yang tepat, Tante. Aku akan selalu mendukungnya."

Setelah percakapan singkat itu, keluarga sepakat untuk segera membawa Hana ke pusat rehabilitasi. Di halaman rumah, ketika mereka bersiap-siap masuk ke mobil, Wina tiba-tiba menggelengkan kepala. "Maaf, Om, Tante, aku tidak bisa ikut. Ada urusan yang harus kuselesaikan," katanya sambil tersenyum licik, menyembunyikan niat sebenarnya di balik alasan itu.

Pak Gunawan dan Bu Santi, meski kecewa, mengerti. "Baiklah, Wina. Terima kasih sudah membantu Hana."

cabul dalam tubuh Wina berdiri di halaman rumah dengan senyum puas. Dengan tubuh barunya, ia mulai merencanakan langkah berikutnya. "Sekarang, saatnya aku menjalankan rencanaku."

Setibanya di kamar kos Wina, pria cabul itu mulai mengeksplorasi seluruh isi ruangan. Dia melihat ke cermin di kamar mandi, mengagumi tubuh muda yang kini ia kuasai. Wina, dengan penampilan polos dan tanpa kecurigaan, adalah tubuh yang sempurna untuk menjalankan rencananya yang lebih besar.

"Hmmm... ini lebih baik daripada tubuh Hana," gumam pria cabul itu dengan seringai puas. Dia mulai melepaskan pakaian Wina satu persatu, mengamati setiap detail tubuhnya dengan tatapan penuh nafsu. "Sekarang, saatnya menikmati tubuh ini."

Pria cabul itu masuk ke kamar mandi dan mengeksplorasi tubuh barunya dengan penuh kesenangan. Setiap lekukan tubuh Wina ia sentuh dengan penuh keinginan, menikmati setiap momen yang ia bisa dapatkan. Desahan halus penuh kepuasan muncul dari mulut polos Wina yang sebelumnya tidak pernah melakukan hal seperti ini. Setelah puas menuntaskan hasratnya hingga mencapai klimak, dia keluar dari kamar mandi dan mulai membuka lemari pakaian, memeriksa koleksi pakaian dan aksesori Wina satu per satu.

Namun, rasa puas itu tak bertahan lama. Pakaian dan perlengkapan kosmetik Wina terlalu sederhana, tidak sesuai dengan selera pria cabul yang penuh obsesi akan kontrol dan kekuasaan. "Ini terlalu membosankan," katanya dengan nada jijik.

"Tidak apa-apa," pria cabul itu berpikir, "kali ini aku akan bertindak lebih cerdik. Aku tak boleh terlalu cepat merubah penampilan Wina. Orang-orang akan curiga. Kali ini, aku akan merubahnya perlahan."

Dengan rencana liciknya di benak, pria cabul itu mulai memikirkan cara untuk mengubah penampilan Wina secara bertahap. Dia ingin membuat Wina menjadi seseorang yang sepenuhnya berbeda, namun harus dilakukan tanpa menimbulkan kecurigaan dari orang-orang di sekitarnya.

Sementara itu, di tempat lain, Hana yang sudah berada di pusat rehabilitasi tidak menyadari bahwa sahabat yang ia percayai kini dikuasai oleh kekuatan jahat yang tak terlihat.

Pria Cabul Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang