Bab 21. Langkah selanjutnya

130 3 0
                                    

Pagi itu di kediaman keluarga Lim terasa berbeda. Budi Lim, yang biasanya tenang, tampak gelisah. Meja makan yang biasa menjadi tempat sarapan damai kini berubah menjadi arena sunyi yang penuh ketegangan. Di hadapannya, Veronica Lim duduk dengan wajah muram, menyadari bahwa ada sesuatu yang tak bisa ia kontrol lagi. Masalah yang sudah berlarut-larut antara mereka terasa semakin tajam hari ini.

"Apa lagi yang ingin kamu katakan, Veron?" tanya Budi dengan nada lelah, menatap cangkir kopinya yang belum disentuh. "Aku sudah muak dengan tuduhan-tuduhanmu."

Veronica menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca, berusaha menahan air mata yang sudah berada di ambang. "Kamu pikir aku tidak tahu? Setiap kali kamu pulang dari luar negeri, kamu lebih sibuk dengan urusan pribadi dibanding keluargamu. Aku sudah mencium gelagatnya sejak lama. Kamu pasti punya wanita lain di luar sana!"

Budi meletakkan cangkir kopinya dengan kasar di meja, suaranya menggema di ruangan. "Sudah cukup! Kamu tidak tahu apa yang kamu bicarakan, Veronica! Hanya karena aku sibuk bekerja, kamu menuduhku selingkuh?"

"Lalu, kenapa kamu tidak pernah ada waktu untuk kita? Untuk Vivi? Kamu bahkan hampir tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi di rumah ini. Semua uang yang kamu bawa pulang tidak berarti apa-apa jika kamu mengabaikan keluargamu sendiri," balas Veronica dengan nada semakin keras, suaranya bergetar oleh emosi yang menumpuk.

Budi menggelengkan kepalanya, kali ini matanya menatap Veronica dengan dingin. "Mungkin kamu yang terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang tidak penting. Vivi baik-baik saja, dia sudah dewasa. Dan jika ada yang salah di rumah ini, mungkin itu karena kamu terlalu banyak curiga dan menuntut!"

Veronica menggeleng, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Hatinya remuk. Ia merasa tidak ada lagi komunikasi yang tersisa di antara mereka.

Dalam keputusasaannya, Veronica pun berkata, "Mungkin memang kita sudah tidak bisa bersama lagi, Budi. Mungkin sudah waktunya... untuk berpisah."

Kata-kata itu menggantung di udara, menciptakan keheningan yang menghantui mereka berdua. Budi menatap istrinya dengan pandangan tajam, terdiam untuk beberapa saat. Tanpa sepatah kata pun, ia berdiri dari kursinya dan merapikan kemejanya. "Jika itu yang kamu mau, baiklah," katanya dingin. "Aku sudah terlalu lama bertahan di sini."

Tanpa melihat ke belakang, Budi melangkah keluar dari rumah dengan langkah berat, meninggalkan Veronica yang terduduk lemas di meja makan, menyadari bahwa keputusannya telah menghancurkan segalanya.

Sementara itu, Anton yang mengendalikan tubuh Vivi, berdiri di ujung tangga, sambi menelepon seseorang, " Kerja bagus, Uang sudah ditransfer, kalian berdua sementara carilah tempat aman untuk bersembunyi, tunggu aba-aba selanjutnya ok?." Menutup sambungan teleponnya sambil memperhatikan semuanya dengan senyum licik di wajahnya. Rencananya berhasil. Retakan besar telah muncul di keluarga ini, dan hanya tinggal menunggu waktu sebelum semuanya hancur. Namun, itu belum cukup. Dia tahu ada langkah-langkah lain yang harus diambil untuk memastikan kehancuran total keluarga Lim.

---

Di kamar pribadi Vivi, Setelah berhasil mengadu domba kedua orangtuanya, langkah selanjutnya adalah mengubah Vivi-secara fisik dan mental-menjadi cerminan dirinya sendiri. Sejak menguasai tubuh wanita itu, Anton sudah lama menunggu momen ini.

"Penampilan ini terlalu... lemah," gumam Anton sambil memandang pantulan Vivi di cermin. Penampilan feminim Vivi tak lagi sesuai dengan jiwanya yang penuh kebencian dan manipulasi.

Anton menatap lemari pakaian Vivi dengan cemoohan. Dress-dress mahal, blus-blus mewah, dan rok elegan tergantung rapi di sana, semuanya mencerminkan kepribadian asli Vivi yang lembut dan anggun. Namun, bagi Anton, semua itu tidak ada artinya. Pakaian-pakaian itu tidak cocok dengan jiwanya yang liar dan penuh pemberontakan.

Pria Cabul Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang