Bab 23. kejatuhan Budi Lim

93 4 0
                                    

Lokasi: Gudang Tua di Pinggiran Kota, malam hari

Di sudut gelap kota, sebuah gudang tua yang sudah lama ditinggalkan menjadi saksi bisu tragedi yang tengah berlangsung. Budi Lim, walikota yang dihormati, kini duduk terikat di kursi dengan tubuh babak belur. Darah mengalir dari sudut bibirnya, mengotori jas mahalnya yang kini terlihat kumal. Bekas pukulan yang diterimanya membuat tubuhnya melemah, namun pikirannya hanya tertuju pada satu hal: putrinya, Vivi.

Di depannya, berdiri seorang pria bertopeng hitam-pemimpin dari komplotan penculik yang dengan kejam telah menyiksanya. Dengan nada dingin, pria itu berkata, "Tanda tanganmu sudah kami dapatkan. Seluruh asetmu kini milik kami."

Budi terengah-engah, matanya penuh ketakutan dan keputusasaan. "Aku... aku sudah menyerahkan semuanya... Sekarang, bebaskan putriku. Kalian sudah mendapat apa yang kalian mau."

Pria bertopeng itu hanya tertawa kecil, sebuah tawa yang penuh dengan kebencian. "Oh, Pak Walikota, ini belum selesai."

Budi terdiam, napasnya tersengal-sengal. "Apa lagi yang kalian mau dariku? Kalian sudah merampas seluruh kekayaan keluargaku! Bebaskan Vivi, seperti yang kalian janjikan!"

Pria itu mendekat, membungkuk hingga wajahnya hanya beberapa inci dari Budi. "Kami punya satu permintaan terakhir, Tuan Lim. Kau akan segera mengundurkan diri dari jabatanmu sebagai walikota."

Wajah Budi memucat, tubuhnya gemetar. "Apa... apa maksudmu? Mengundurkan diri?"

Pria bertopeng mengangguk dengan tenang. "Kau akan mengundurkan diri dan mengasingkan diri jauh dari sini. Dan ingat, jangan sekali-sekali melibatkan polisi. Jika kau mencoba sesuatu yang bodoh, nyawa keluargamu-termasuk Vivi-akan tamat."

Budi terdiam, hatinya bergemuruh. "Kalian... kalian tidak bisa meminta hal itu! Aku... aku punya tanggung jawab... Aku tidak bisa meninggalkan jabatan ini begitu saja!"

Pria itu berdiri tegak kembali, tangannya dengan santai mengeluarkan ponsel dari saku. Dia menekan beberapa tombol sebelum memperdengarkan rekaman yang terdengar jelas. Suara seorang gadis-suara Vivi-terdengar di ujung sana. Gadis itu terdengar terisak, lemah, penuh dengan ketakutan.

"Papi... tolong... tolong aku... mereka menyakitiku...!" terdengar suara Vivi yang memohon.

Budi terdiam, air mata mulai mengalir dari matanya. Setiap kata yang terdengar membuat hatinya hancur berkeping-keping. "Vivi... Tuhan... jangan sakiti dia. Aku mohon, bebaskan dia!"

Pria bertopeng menyeringai di balik topengnya, menikmati ketakutan yang tergambar di wajah Budi. "Kami akan membebaskannya, Tuan Lim. Tapi hanya jika kau mengikuti perintah kami. Jika tidak, kau akan menerima tubuh putrimu dalam kantong mayat."

Tubuh Budi bergetar hebat, rasa takut membekukan nalarnya. Dalam kondisi babak belur, dengan darah yang masih menetes dari luka-luka di tubuhnya, ia tahu bahwa melawan bukanlah pilihan. "Aku... aku akan melakukan apa yang kalian minta. Hanya... tolong... jangan sakiti Vivi lagi."

Pria itu mengangguk puas. "Bagus. Besok pagi, kau akan mengadakan konferensi pers untuk mengumumkan pengunduran dirimu. Setelah itu, kau akan menghilang dari publik. Jika kau melaporkan kejadian ini, maka kami pastikan keluargamu akan menderita. Kami punya cara untuk mengawasi setiap gerakanmu, Tuan Lim."

Budi terisak, merasa terjebak dalam dilema yang menghancurkan. "Aku akan lakukan... hanya... pastikan Vivi aman." Suaranya terdengar begitu putus asa, hampir tanpa harapan.

Pria itu menepuk bahu Budi dengan penuh ejekan. "Kau akan tahu jawabannya setelah kau melakukan tugasmu. Ingat, satu gerakan yang salah, dan kau tidak akan pernah melihat putrimu lagi."

Pria Cabul Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang