Matahari pagi di kota itu tampak begitu cerah, tetapi suasana hati Raka sama sekali tidak secerah langit. Dia berada di dalam mobil, mengamati dari kejauhan kediaman keluarga Lim yang megah. Rumah besar itu dikelilingi pagar tinggi dengan penjagaan ketat. Setiap gerakan Vivi Lim—atau tepatnya, Anton yang kini menguasai tubuhnya—selalu dalam pengawalan. Yusuf, bodyguard setia yang dikirim oleh Nyonya Lim, selalu berada beberapa langkah di belakang, mengawasi setiap gerakan sang majikan. Hal ini membuat Raka frustrasi, karena misinya untuk mendekati Vivi semakin sulit.
“Dia tidak akan bisa bergerak tanpa diawasi,” gumam Raka dengan nada geram. Namun, dia bertekad untuk tidak menyerah. Raka tahu bahwa Anton harus dihentikan sebelum lebih banyak kerusakan terjadi, dan dia akan menemukan celah, meski itu berarti harus menunggu lama.
Sementara itu, di dalam gedung kantor keluarga Lim, Anton yang kini menggunakan tubuh Vivi berjalan dengan angkuh menuju ruang kerjanya, diikuti oleh Yusuf. Gedung perusahaan keluarga Lim merupakan menara tinggi yang dikelilingi kaca reflektif, memantulkan kilauan sinar matahari, menciptakan kesan modern dan mewah. Di dalam, lantai marmer bersih dan dinding berhiaskan lukisan-lukisan mahal memberikan aura kesuksesan yang gemilang.
Anton, dalam tubuh Vivi, berusaha melepaskan diri dari pengawasan Yusuf dengan alasan ingin ke toilet. Namun, setiap langkahnya tetap diikuti dengan ketat, membuat Anton berdecak kesal. “Sialan, ini tidak akan mudah,” gumamnya dalam hati, menyadari bahwa rencana besarnya untuk sepenuhnya menguasai hidup Vivi akan terganggu jika Yusuf terus menempel.
Setibanya di ruang kerjanya, sebuah kantor luas yang dilengkapi dengan jendela besar yang menghadap ke pusat kota, Yusuf akhirnya pamit meninggalkan ruangan untuk memberikan privasi. Anton duduk di kursi kulit yang empuk, matanya menyusuri setiap sudut ruangan, mengagumi kemewahan yang kini dimilikinya. Namun, tatapannya terhenti pada tumpukan dokumen yang menutupi hampir seluruh meja kerja.
“Persetan dengan semua ini,” bisiknya dengan rasa jijik. “Aku tidak pernah melakukan kerja kantoran. Melihat kertas saja sudah bikin mual.”
Anton, yang dulunya tidak pernah peduli dengan pekerjaan serius, merasa kewalahan melihat begitu banyak berkas dan kontrak yang harus ditangani. Alih-alih bekerja, dia merebahkan tubuhnya di sofa besar di pojok ruangan, mencoba mencari cara untuk menghindari semua tanggung jawab ini. Sebuah ide licik akhirnya terlintas di pikirannya. Dia menekan tombol interkom di mejanya dan memanggil sekretaris pribadinya. " Tolong siapa saja yang di sana, harap keruangan saya segera". Perintah Anton dengan suara tegas Vivi.
Tak lama kemudian, pintu terbuka dan terlihat seseorang masuk. Dia seorang wanita berusia 30-an, berpenampilan profesional dengan tubuh yang seksi, mengenakan setelan ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Anton, yang meskipun sekarang berada dalam tubuh wanita, tak bisa menahan diri untuk tidak melirik tubuh menggoda itu. Secepat mungkin, dia mengalihkan pandangannya, berusaha menelan ludahnya dan tetap terlihat tenang.
Melihat nametag bertuliskan nama Lydia Anton mulai mengetahui namanya. “Lydia,” ucap Anton dengan nada tenang, “aku ingin kamu mengurus semua berkas di meja ini. Aku sibuk dengan urusan lain.”
Lydia, yang sudah bertahun-tahun bekerja untuk keluarga Lim, tampak terkejut mendengar perintah itu. “Tapi, Bu Vivi… sebagian besar dari berkas ini perlu keputusan langsung dari Anda. Saya bisa membantu, tapi—”
“Tidak ada tapi. Kerjakan semuanya,” potong Anton dengan nada dingin, tatapan matanya tajam. Lydia tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah itu, meski merasa aneh dengan perubahan sikap atasan yang biasanya sangat profesional dan gila kerja.
Sementara Lydia bekerja keras menuntaskan dokumen yang seharusnya ditandatangani oleh Vivi, Anton malah bersantai di sofa, memainkan game judi slot di smartphone-nya. Sesekali dia melirik Lydia dengan tatapan aneh, mencoba mengendalikan nafsu yang semakin sulit dibendung. Di dalam tubuh wanita, jiwa cabul Anton terus mendidih, tetapi dia tahu, jika dia lepas kendali, rencananya bisa hancur.
Setelah beberapa jam berlalu, Lydia akhirnya menyelesaikan semua tugas yang diberikan. Dengan mata yang tampak lelah, dia menatap Vivi yang masih asyik bermain di ponselnya. “Semua sudah selesai, Bu Vivi,” ucap Lydia sambil menunggu instruksi lebih lanjut. Anton menghentikan aktivitasnya sejenak, menatap Lydia, lalu tiba-tiba mengajaknya mengobrol singkat mengenai pekerjaan.
Percakapan berlangsung singkat dan formal. Anton berusaha mengendalikan dirinya, tapi kehadiran Lydia yang begitu menggoda membuatnya hampir lepas kendali. Setelah selesai berbicara, Lydia keluar dari ruangan dengan perasaan aneh. “Kenapa Bu Vivi berubah?” pikirnya. “Dia biasanya sangat disiplin dan fokus pada pekerjaan, tapi hari ini dia terlihat seperti orang yang malas.”
Setelah Lydia keluar, Anton merasa lega. Dia mendapati ruang kerja pribadi Vivi dilengkapi dengan toilet dan kamar mandi. Karena kejadian tadi, pikiran kotor langsung merasuk ke benaknya. Anton, yang masih terobsesi dengan Lydia, berhasrat ingin menuntaskan dengan menggunakan tubuh barunya, memutuskan untuk “menikmati” lagi sensasi yang bisa dia rasakan dalam tubuh Vivi.
Dengan seringai jahat, dia melangkah masuk ke kamar mandi, dan di sana, perlahan Vivi mulai melepas pakaiannya satu persatu, mulai dari kemeja kerja, rok span, hingga pakaian dalamnya semuanya dilucuti tanpa tersisa, jari jemari lentiknya mulai meraba area bukit kembarnya yang padat walaupun tidak terlalu besar, namun sangat sensitif dan kenyal, terasa sensasi geli bercampur nikmat, terlihat Vivi mulai menggigit bibirnya sendiri menahan sensasi yang luar biasa, erangan kenikmatan mulai terdengar samar dari dalam ruangan itu.
Saat yang bersamaan, Yusuf sang bodyguard terpaksa masuk ke kantor karena sudah mengetuk pintu beberapa kali, namun tak ada respon dari Vivi, karena penting, terpaksa Yusuf masuk untuk menyampaikan pesan mendesak, mendengar suara-suara aneh dari balik pintu kamar mandi. Sebagai pria normal, Yusuf tak bisa menghindari fantasi liar yang tiba-tiba muncul di pikirannya. Dengan wajah merah dan sedikit ragu, dia memberanikan diri untuk memanggil Vivi dari luar pintu.
“Bu Vivi… ada tamu penting yang ingin bertemu dengan Anda mengenai kontrak kerja,” ucap Yusuf dengan suara bergetar.
Di dalam kamar mandi, Anton yang sudah hampir mencapai puncak kepuasan terkejut mendengar suara Yusuf memanggil dari luar. Panik, dia buru-buru menyudahi aksinya, mengenakan dan merapikan pakaiannya dengan tergesa-gesa, lalu keluar dari kamar mandi dengan wajah merah. Yusuf, yang masih menunduk karena malu, menyampaikan pesannya lagi dengan nada lebih tenang. Anton, yang merasa canggung dengan situasi ini, hanya bisa mengangguk singkat.
“Baik, suruh mereka tunggu di ruang meeting,” jawab Anton cepat, lalu bergegas meninggalkan ruangan. Di dalam benaknya, dia tahu Yusuf pasti mendengar sesuatu yang tidak seharusnya. Namun, dia terlalu sibuk memikirkan rencana besar berikutnya untuk peduli lebih jauh.
Sementara itu, Raka yang masih memantau dari kejauhan berharap melihat celah. Ketika Vivi meninggalkan kantor dengan Yusuf mengikuti di belakang, dia tahu bahwa ada momen-momen ketika Vivi sedikit terpisah dari pengawalan ketat itu. Kini, dia hanya perlu waktu yang tepat untuk mendekatinya—dan semoga saja, itu bisa terjadi lebih cepat dari yang dia perkirakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pria Cabul
SpiritualBrengsek...! gara-gara mengejar wanita ini, aku jadi mengalami kecelakaan hingga dinyatakan tewas ditempat..! untung saja keberuntungan berada di pihak ku, entah kenapa aku masih diberikan kesempatan untuk bisa merasakan hidup sekali lagi, dan yang...