Bab 8. Teman Lama yang Tak Disangka

281 5 0
                                    

Bab 45: Teman Lama yang Tak Disangka

Malam itu, Hana sedang duduk di sudut bar, dikelilingi oleh beberapa wanita malam yang sudah menjadi teman-temannya selama beberapa bulan terakhir. Asap rokok memenuhi ruangan, dan Hana sesekali meneguk bir dari gelas besar di depannya. Wajahnya tampak lelah, namun sikapnya tetap acuh. Dia sudah terbiasa dengan kehidupan seperti ini—kehidupan yang dia pikir telah menenggelamkannya dalam kegelapan yang tak mungkin diselamatkan.

“Jadi, apa rencanamu sekarang, Hana? Mau coba sesuatu yang lebih kuat malam ini?” tanya salah satu wanita di sampingnya sambil tertawa kecil, matanya memperlihatkan tanda-tanda kecanduan yang dalam.

Hana mengangkat bahu. “Lihat saja nanti. Yang penting malam ini aku ingin melupakan segalanya.”

Di sisi lain ruangan, tanpa sepengetahuan Hana, seseorang memperhatikannya dengan tatapan tak percaya. Wina, teman lama Hana dari masa kuliahnya, tidak sengaja melihat Hana di tengah-tengah wanita malam itu. Matanya membelalak tak percaya saat menyadari siapa yang duduk di pojok bar tersebut.

“Tidak mungkin... Hana?” bisik Wina pelan.

Rasa terkejut yang mendalam menghantam Wina, dia tidak pernah menyangka bahwa wanita yang dulu dikenal sebagai seseorang yang baik dan lembut kini berubah drastis. Tanpa pikir panjang, Wina segera mengambil ponselnya dan menelepon orang tua Hana. Dengan suara bergetar, dia berbicara.

“Auntie, ini Wina. Aku menemukan Hana... di sebuah bar. Dia bersama para wanita malam... dan dia—dia tampak sangat berbeda.”

Di ujung telepon, suara Bu Santi terdengar penuh ketakutan dan kemarahan. “Apa? Di mana dia? Cepat beritahu kami alamatnya!”

Tidak butuh waktu lama setelah telepon Wina, Bu Santi dan Pak Gunawan, bersama beberapa anggota keluarga lainnya, segera menuju bar tersebut. Mereka tidak datang sendirian; Raka, mantan tunangan Hana, juga ikut serta. Meski perasaannya sudah hancur karena dibatalkan sepihak oleh Hana, dia tetap peduli pada wanita yang dulu sangat dicintainya.

Ketika mereka tiba di depan bar, Pak Gunawan langsung merasa marah dan khawatir. Bar kumuh di pinggiran kota itu tampak kotor dan tidak pantas, apalagi untuk seorang seperti Hana yang dulu penuh harapan dan masa depan cerah. Tanpa pikir panjang, mereka masuk ke dalam.

Suasana bar yang penuh asap dan bising mendadak menjadi sunyi saat Pak Gunawan dengan suara keras memanggil putrinya. “Hana! Di mana kamu?!”

Semua orang di bar menoleh, termasuk Hana, yang tampak terkejut mendengar suara itu. Wajahnya pucat seketika, tetapi sebelum dia sempat bergerak, ibunya, Bu Santi, langsung menghampirinya dengan air mata di mata.

“Hana! Apa yang kamu lakukan di sini?!” seru Bu Santi, memegang lengan putrinya dengan kuat. “Lihat dirimu! Apa yang terjadi pada dirimu?”

Hana hanya diam, matanya terlihat kosong, seolah-olah dia tidak lagi mengenali siapa dirinya. Dalam dirinya, pria cabul yang mengendalikan tubuhnya hanya tertawa kecil, menikmati kekacauan yang terjadi.

Raka yang berdiri di belakang Pak Gunawan hanya bisa memandang dengan perasaan campur aduk. Dia tidak mengenali Hana yang sekarang. Wanita di depannya bukanlah wanita yang dulu dia cintai. “Hana...” panggilnya pelan. “Apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu berubah begini?”

Hana menggeleng, merasa tertekan oleh semua tatapan marah dan kecewa yang tertuju padanya. “Aku... aku baik-baik saja. Ini hidupku sekarang,” katanya dengan suara datar, tetapi matanya terlihat bingung dan lelah.

Pak Gunawan, yang tak bisa lagi menahan emosinya, menarik Hana dengan paksa dari kursi. “Kamu ikut pulang dengan kami sekarang! Kamu tidak akan berada di tempat seperti ini lagi!”

Hana berusaha melawan, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman ayahnya, tetapi tenaganya tidak cukup kuat. Wanita-wanita lain di bar hanya menonton dengan cemas, tidak ada yang berani campur tangan. Sementara itu, pria cabul di dalam tubuh Hana merasa tidak senang dengan gangguan ini. Ia mencoba mempengaruhi Hana untuk melawan lebih keras, tetapi Hana terjebak antara keputusasaannya dan kekuatan keluarganya.

“Lepaskan aku! Ini hidupku! Aku bisa melakukan apa yang aku mau!” Hana berteriak, suaranya serak karena terlalu banyak merokok.

“Kamu tidak tahu apa yang kamu katakan, Hana!” Bu Santi menangis, menggenggam tangan putrinya erat. “Kamu sudah berubah... Ini bukan dirimu. Kami harus membantumu.”

“Aku tidak butuh bantuan kalian!” Hana terus berteriak, tetapi akhirnya dia tak berdaya di bawah kekuatan ayahnya yang menyeretnya keluar dari bar.

Raka hanya bisa menatap dengan penuh kesedihan. Dalam hatinya, dia tahu bahwa Hana tidak lagi menjadi wanita yang dia cintai. Dia terperangkap dalam sesuatu yang gelap, dan hanya keluarganya yang mungkin bisa menariknya keluar.

Setelah Hana dipaksa masuk ke dalam mobil, suasana menjadi hening. Pak Gunawan dan Bu Santi memutuskan untuk membawa Hana langsung ke rumah, tapi pikiran mereka sudah jelas—ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka harus melakukan sesuatu yang lebih drastis untuk menyelamatkan putri mereka.

Di perjalanan pulang, suasana di dalam mobil terasa tegang. Hana duduk di kursi belakang, masih dalam keadaan bingung dan marah. Pria cabul yang menguasainya mencoba merasuki pikirannya lebih dalam, namun emosi Hana yang begitu campur aduk membuat pengaruhnya sedikit goyah.

“Kita tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut,” kata Pak Gunawan dengan suara tegas sambil memandang ke depan. “Hana perlu direhabilitasi. Kita harus membawanya ke tempat yang bisa menyembuhkannya dari semua ini.”

Bu Santi mengangguk, air matanya masih mengalir. “Kita harus menyelamatkan Hana, Gunawan. Aku tidak bisa melihat dia seperti ini lagi. Apa pun yang diperlukan, kita harus melakukannya.”

Raka yang duduk di depan hanya bisa terdiam, tetapi dalam hatinya, dia tahu bahwa keputusan itu mungkin satu-satunya cara untuk menyelamatkan Hana. Meskipun dia tidak lagi menjadi tunangan Hana, dia masih peduli padanya dan ingin melihatnya pulih.

Sementara itu, di kursi belakang, Hana hanya memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Kepalanya terasa berputar-putar, dan dia tidak bisa memikirkan apa pun selain kebencian yang membakar dirinya. Pria cabul dalam dirinya mulai resah, menyadari bahwa kendali yang dia miliki atas Hana mungkin akan terancam jika keluarga Hana benar-benar mengambil tindakan serius.

“Tidak... aku tidak bisa membiarkan mereka melakukan ini,” bisik suara itu di dalam kepala Hana. “Kita harus menemukan cara untuk melawan.”

Hana mengepalkan tangannya, mencoba menenangkan pikiran yang saling beradu di dalam dirinya. Dia tahu bahwa hidupnya sudah berada di tepi jurang, tapi di bawah kendali pria cabul, dia tidak lagi peduli pada apa pun—hanya ingin lari dari semua rasa sakit yang mengikutinya.

Kini, Hana dihadapkan pada rencana rehabilitasi yang dipersiapkan keluarganya. Pak Gunawan dan Bu Santi yakin bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan putri mereka, sementara di dalam dirinya, pria cabul semakin berusaha memperkuat kendalinya atas Hana.

Pria Cabul Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang