Bab 28. Pengejaran dan Pengkhianatan

120 8 0
                                    

Pagi masih dingin ketika di sebuah area terpencil yang terletak di pinggiran hutan, teriakan kasar menggema, menggema di antara pepohonan. Sebuah kelompok pria berbadan besar dengan wajah penuh amarah tampak berlari mengejar seseorang. Pria yang mereka buru adalah Budi Lim, ayah Vivi. Napasnya tersengal-sengal, seakan jantungnya akan meledak. Di balik wajahnya yang sudah mulai menua, terlihat jelas tekad kuat untuk tetap bertahan hidup.

"Jangan biarkan dia lolos!" teriak salah satu pria sambil mempercepat langkahnya, membelah semak belukar yang menutupi jalan setapak.

Budi, yang berhasil mengecoh salah satu penjaga dengan kecerdikannya, terus berlari meski kakinya mulai terasa berat. Keringat membasahi tubuhnya yang kini berpakaian compang-camping. Jalan setapak di hadapannya semakin sempit dan penuh dengan bebatuan tajam. Namun, dia tak peduli. Satu-satunya yang ada di pikirannya adalah melarikan diri dan menyelamatkan putrinya, Vivi—tanpa tahu bahwa putrinya lah dalang di balik semua ini.

Di tengah pelarian itu, Budi merasa napasnya semakin berat. Ia menyadari bahwa penculiknya semakin dekat. Dengan cepat, ia melompat ke balik semak-semak yang lebat, menahan napas. Suara langkah kaki semakin mendekat. Para pengejar terlihat bingung dan marah saat tidak menemukan jejak Budi.

“Ke mana dia?” tanya salah satu pria dengan nada geram.

“Dia pasti bersembunyi di sekitar sini. Cari terus!” perintah pria yang tampak sebagai pemimpin kelompok tersebut.

Budi tetap diam, meski jantungnya berdebar keras. Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, para pengejar akhirnya bergerak menjauh. Budi menghela napas panjang, lalu dengan hati-hati melanjutkan pelariannya.

Setelah berlari sejauh mungkin, Budi akhirnya tiba di sebuah pemukiman kecil yang tampak tenang. Di depannya, beberapa rumah kayu berjajar dengan pagar sederhana. Budi, yang kini benar-benar kelelahan, memasuki salah satu jalan kecil di perkampungan itu. Dia berjalan dengan langkah tertatih-tatih, menahan rasa sakit di kakinya.

Di sisi lain pemukiman, Yusuf, yang sedang bersama Hana dan beberapa orang lainnya, berjalan-jalan di antara rumah-rumah penduduk. Tiba-tiba, mata Yusuf tertuju pada sosok yang sangat dikenalnya. Budi Lim, sang tuan yang ia cari selama ini, muncul dari balik jalan setapak dengan kondisi yang sangat mengenaskan.

“Pak Budi?!” Yusuf berteriak, setengah berlari menghampiri pria tua itu. “Apa yang terjadi, Pak?”

Budi, yang hampir jatuh karena kelelahan, hanya bisa mengangguk pelan. Yusuf segera memapahnya dan membawa Budi ke sebuah pondok kecil yang mereka sewa sementara. Di dalam pondok, Yusuf memberikan Budi segelas air dan membantunya duduk.

“Minumlah dulu, Pak. Tenangkan diri Bapak,” kata Yusuf sambil menatap Budi dengan cemas.

Setelah meneguk air itu, Budi mulai berbicara, meski suaranya masih terdengar gemetar. “Aku… aku diculik… Mereka… mereka bilang akan membunuh Vivi kalau aku tidak menyerahkan seluruh hartaku. Mereka memaksaku menandatangani surat warisan, dan memaksa aku turun dari jabatan walikota.”

Yusuf menatapnya dengan serius, lalu berkata, “Tuan Budi, saya rasa Anda perlu tahu sesuatu. Ini semua tidak seperti yang Anda pikirkan.”

Hana yang berdiri di belakang Yusuf melangkah maju, berbicara dengan hati-hati. “Pak Budi, Vivi… dia bukan dalam bahaya seperti yang Anda kira. Tubuh Vivi… dirasuki oleh jiwa Anton, pria yang sangat jahat.”

Budi mengernyitkan kening, menatap mereka dengan bingung. “Apa maksud kalian? Vivi… dia anakku! Mana mungkin dia terlibat dengan orang seperti itu?”

Yusuf mencoba menjelaskan lebih lanjut, “Pak, kami sudah menemukan banyak bukti bahwa Vivi sebenarnya terlibat dalam hal-hal buruk, dan sekarang tubuhnya dikendalikan oleh arwah jahat bernama Anton. Ini sangat sulit dipercaya, tapi ini kenyataannya.”

Budi terdiam lama. Kata-kata Yusuf dan Hana bergema di pikirannya. Rasa syok mulai meresap dalam dirinya. Wajahnya memucat, dan ia terdiam seakan seluruh dunianya runtuh.

“Anakku… Vivi…” gumamnya dengan suara bergetar.

Hana mencoba menenangkannya. “Pak, yang terpenting sekarang adalah kita harus melawan Anton dan menyelamatkan Vivi sebelum semuanya semakin terlambat.”

Setelah beberapa saat, Budi akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah… Aku percayakan padamu… Selamatkan Vivi.”

Setelah Budi tenang, Yusuf menyarankan agar Budi tetap tinggal di pondok tersebut. “Pak, sebaiknya Bapak tetap di sini dulu. Mobil kami tak bisa menampung banyak orang. Saya akan tetap menemani Bapak di sini, sementara yang lain akan melanjutkan perjalanan ke rumah Vivi.”

Hana, Raka, Pak Rahman, dan Pak Hardi bersiap-siap untuk kembali ke kediaman Vivi. Di benak mereka, hanya ada satu tujuan—menyingkirkan Anton dari tubuh Vivi.

---

Di tempat lain, Vivi tampak berjalan cepat di antara anak buahnya. “Kita harus segera menemukan dia! Bagaimana bisa Budi kabur dari sini?!”

Salah satu anak buahnya melapor, “Kami sudah menyisir area, Nona. Tapi sampai sekarang, jejaknya masih belum jelas.”

Vivi menggertakkan gigi, wajahnya penuh dengan kemarahan. Namun tiba-tiba, dia melihat sesuatu yang familiar—sebuah mobil sedan yang sedang menuju ke arah mereka. Vivi mengenali mobil itu. “Raka…” gumamnya pelan. Tatapan tajam langsung terpancar dari matanya.

Dengan cepat, dia memberi perintah pada anak buahnya. “Hentikan dia! Bereskan Raka sekarang juga!”

Empat pria berbadan besar langsung bergerak menuju mobil Raka. Raka, yang melihat para preman mendekat, segera menyadari bahaya yang mengintainya. Dia berusaha memundurkan mobilnya, tetapi jalannya sudah terblokir. Di dalam mobil, Hana mulai cemas.

“Raka, kita harus lakukan sesuatu! Mereka akan menyerangmu!” seru Hana dengan wajah penuh kekhawatiran.

Raka menatap Hana dengan tenang, meski dalam situasi genting. “Jangan khawatir, aku tidak akan menyerah tanpa perlawanan.”

Pria Cabul Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang